Tampilkan postingan dengan label Artikel Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Islam. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Maret 2011

Membongkar Ajaran Tasawwuf (2)

Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

4. Sikap berlebih-lebihan kalangan tasawuf terhadap -siapa yang mereka katakan- para wali dan Syaikh yang bertentangan dengan aqidah Ahlus-sunnah waljamaah.

Aqidah Ahlussunnah Waljamaah adalah aqidah yang membela wali-wali Allah dan memerangi musuh-musuhnya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَـوةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـوةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
[المائدة : 55]
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.(Al Ma’idah: 55)
يَـأَيـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَـاءَ
[الممتحنة : 1]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (Al Mutahanah: 1)

Wali-wali Allah adalah orang-orang beriman yang bertaqwa, yaitu mereka yang menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka tunduk kepada-Nya. Kita wajib mencintai mereka, mengikuti jejak langkah mereka dan menghormati mereka. Kewalian bukan merupakan jatah bagi orang-orang tertentu, setiap mu’min yang bertaqwa adalah wali Allah Ta’ala, tetapi dia bukan orang yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Inilah makna kewalian dan kewajiban mereka menurut pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sedangkan kalangan tasawuf memiliki pengertian dan ciri-ciri sendiri mengenai wali, mereka menentu-kan status kewalian kepada orang-orang tertentu tanpa landasan syari’at atas kewalian mereka, bahkan bisa jadi mereka memberikan status wali kepada orang yang tidak diketahui keimanannya dan ketaqwaannya, atau justru dia dikenal sebagai wali dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai kewalian yang dimaksud dalam ajaran Islam, seperti sihir, tipu muslihat dan menghalalkan yang haram. Bahkan mereka kalangan tasauf lebih mengutamakan untuk memohon kepada para wali tersebut daripada kepada para nabi sebagaimana ucapan salah seorang diantara mereka:

مَقَامُ النُّبُوَّةِ فِي بَرْزَخٍ فُوَيْقَ الرَّسُوْلِ وَدُوْنَ الْوَلِيِّ

“Kedudukan kenabian dalam barzakh sedikit lebih tinggi dari kedudukan rasul dan lebih rendah dari wali“

Mereka juga berkata:

“Sesungguhnya para wali mengambil dari tempat malaikat mengambil sesuatu dari sumber itu yang kemudian dia wahyukan kepada para rasul”.

Mereka (kalangan sufi) juga mengaku bahwa para wali tersebut ma’shum.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Banyak manusia yang keliru dalam masalah ini sehingga dia mengira bahwa seseorang adalah wali Allah, dia juga mengira bahwa wali Allah adalah setiap orang yang perkataannya dan perbuatannya diterima dan dipegang meskipun bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, lalu mereka setuju dengan orang tersebut dan menentang apa yang Allah ajarkan lewat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah Allah wajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk membenarkan apa yang diberitakan dan mentaati apa yang diperintahkan. mereka (kalangan tasauf) menyerupai orang-orang Nashrani yang Allah katakan tentang mereka :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَـهاً وَاحِداً، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ [التوبة : 31]

“Mereka menjadikan ulama, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka memper-tuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.(At Taubah: 31)

Di dalam Al-Musnad dan dishahihkan oleh Turmuzi dari ‘Adi bin Hatim tentang tafsir ayat di atas ketika Nabi menyatakan hal itu (orang-orang Kristen yang menyembah pendeta-pendeta mereka), maka dia (‘Adi bin Hatim) berkata: Sungguh mereka tidak menyembah pendeta-pendetanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukankah mereka (pendeta-pendeta itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan serta mengharamkan untuk mereka apa yang dihalalkan kemudian mereka menta’atinya?, itulah bentuk ibadah mereka kepada pendeta-pendetanya”.

Sikap orang-orang Nashrani ini banyak anda dapatkan pada kebanyakan dari mereka (orang-orang tasawuf): Misalnya adanya keyakinan bahwa seseorang yang menjadi wali Allah, dia dapat mengetahui berbagai perkara atau kejadian yang terjadi diluar adat kebiasaan, misalnya dengan menunjuk kepada seseorang, maka dia langsung mati, atau terbang di udara ke Mekkah, atau berjalan di atas air, atau memenuhi ketel dari udara, atau ada sebagian orang yang meminta pertolongan dengannya saat dia tidak ada atau setelah kematiannya kemudian disaksikan-nya bahwa orang itu mendatanginya dan memenuhi permintaannya, atau memberitahu manusia tentang barang yang kecurian, barang yang hilang, penyakit atau yang semacamnya. Semua hal tersebut bukan menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah.

Bahkan para ulama sepakat bahwa seseorang yang mampu terbang di udara atau jalan di atas air maka hendaklah kita tidak cepat terpesona sebelum melihat bagaimana dia mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang.

Karomah para wali Allah lebih agung dari semua perkara-perkara aneh tersebut. Kejadian-kejadian yang terjadi di luar adat kebiasaan manusia, pelakunya bisa jadi wali Allah dan bisa jadi musuh Allah, karena hal tersebut banyak terjadi pada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, ahli kitab dan orang-orang munafik, dapat juga terjadi pada ahli bid’ah atau mungkin bersumber dari syetan. Karena itu seseorang tidak boleh menyangka bahwa siapa yang memiliki perkara aneh luar biasa maka dia adalah wali Allah. Akan tetapi wali Allah dapat dinilai dengan sifat-sifat, amal perbuatan dan tingkah laku mereka yang ditunjukkan oleh Al-Quran As-Sunnah. Mereka dapat juga diketahui berdasarkan cahaya Al Quran, hakekat keimanan yang tersembunyi dan syari’at Islam yang tampak.

Semua kejadian di atas (kejadian di luar adat kebiasaan manusia) dan yang semacamnya bisa saja terjadi pada seseorang yang tidak pernah berwudhu, tidak shalat fardhu, berkubang dengan najis dan bergaul dengan anjing, yang bersemedi di wc-wc, tempat-tempat kotor, kuburan dan tempat-tempat sampah. Baunya busuk, tidak bersuci dengan cara yang syar’i serta tidak bersih-bersih.

Jika seseorang dikenal berkubang dengan najis dan hal yang menjijikkan yang disukai setan, atau dia bertapa di kamar mandi dan tempat-tempat kotor yang didiami setan, atau dia memakan ular dan kala-jengking, kumbang, serta kuping anjing yang merupa-kan binatang-binatang yang menjijikkan atau minum air kencing, najis dan semacamnya yang disukai setan, atau dia berdoa kepada selain Allah, meminta tolong kepada makhluk, memohon kepadanya dan sujud di depan Syaikhnya serta tidak memurnikan agama untuk Tuhan semesta alam, atau bergaul dengan anjing atau api atau bertapa di kuburan apalagi ternyata kuburannya adalah kuburan orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani serta orang-orang musyrik, atau benci untuk mendengarkan Al Quran atau menghindar darinya, bahkan dia lebih mengutamakan untuk mendengar nyanyian-nyanyian atau sya’ir-sya’ir atau mendengarkan seruling-seruling setan daripada mendengarkan kalamullah. Maka semua itu merupakan tanda-tanda dari wali-wali setan. [17]

Kalangan tasawuf tidak hanya sampai sebatas itu yaitu dengan memberi gelar kewalian kepada orang semacam mereka, bahkan berlebih-lebihan terhadap mereka dengan memberikan beberapa sifat-sifat ketuhanan kepada mereka, yaitu dengan mengatakan bahwa mereka berperan atas apa yang terjadi di alam raya ini, mengetahui yang ghaib, dapat memenuhi setiap permohonan yang tidak mampu merealisasi-kannya kecuali Allah, nama-nama mereka disebut-sebut saat ada bencana padahal mereka telah mati atau tidak ada ditempat tersebut, mereka diminta untuk memenuhi kebutuhan dan menolak kesulitan, memberikan gelar kesucian dalam kehidupan mereka, kemudian menyembahnya setelah mereka wafat, membangun di atas kuburnya bangunan-bangunan dan mengambil barokah dengan tanah mereka dan thawaf di atas kubur mereka, dan bertaqarrub kepada mereka dengan berbagai macam nazar, menyebut-nyebut nama mereka dalam memohon kebutuhan-kebutuhan mereka. Inilah semua manhaj orang-orang tasawuf dalam masalah perwalian ataupun para wali.

5. Termasuk bagian dari ‘agama tasawuf yang bathil adalah taqarrub-nya mereka kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, memukul rebana dan bertepuk tangan. Mereka katakan bahwa semua itu adalah ibadah kepada Allah.

Dr. Sobir Tu’aimah berkata dalam kitabnya: As-Sufiah Mu’taqadan wa Maslakan (Tasawuf, keyakinan dan jalan hidupnya): “Tarian sufi telah menjadi ciri khas pada sebagian besar tarekat-tarekat tasawuf dalam berbagai kesempatan peringatan kelahiran tokoh-tokoh mereka, yaitu dengan berkumpulnya para pengikut tarekat tersebut untuk mendengarkan alunan suara musik yang keluar dari sekitar dua ratus orang pemusik, baik laki maupun wanita, sementara para pembesar duduk-duduk sambil menghisap berbagai macam rokok dan para pemimpin mereka serta para pengikutnya melakukan bacaan atas sebagian khurofat yang berkaitan orang-orang mati dikalangan mereka. Setelah berbagai penelitian, kami sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan musik di kalangan tarekat tasawuf masa kini merujuk kepada apa yang disebut sebagai “Nyanyian kristiani hari Minggu“”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan tentang awal mula timbulnya tasawuf serta sikap para ulama tentang hal tersebut dan apa saja yang mereka perbuat.

“Ketahuilah bahwa hal tersebut bukan muncul pada kurun tiga abad pertama yang terkenal utama, tidak di Hijaz [18] tidak juga di Syam [19], tidak di Yaman tidak juga di Mesir, tidak di Maroko tidak juga di Irak, tidak juga di Khurasan. Di negri-negri tersebut tidak ada –pada waktu itu- orang alim, shaleh, zuhud dan ahli ibadah yang berkumpul untuk mendengarkan tepuk tangan dan suara bersiul, dengan rebana atau dengan telapak tangan, tidak juga dengan potongan kayu. Akan tetapi semua itu terjadi di akhir abad ke tiga. Dan ketika para imam melihatnya, merekapun mengingkarinya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Ketika saya meninggalkan Baghdad ada sesuatu yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq yang mereka namakan Taghbir (nyanyian sufi) yang menghalangi orang dari Al Quran”. Yazid bin Harun berkata : “Tidak ada yang melakukan nyanyian sufi kecuali orang yang fasiq, entah kapan hal itu berawal ?”.

Imam Ahmad ditanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab: Saya tidak menyukainya, itu adalah perkara yang diada-adakan. Ada yang berkata: Apakah kita boleh duduk bersama mereka, beliau menjawab: Jangan. Begitu juga semua imam agama membencinya, para pembesar masyaikh tidak menghadirinya, Ibrahim bin Adham tidak menghadirinya tidak juga Fudhail bin Iyadh, tidak juga Ma’ruf Al Karkhi, tidak Abu Sulaiman Ad-Daariny, tidak juga Ahmad bin Abilhawary, Sirry Saqty dan yang semacam mereka.

Sedangkan sejumlah ulama terhormat yang sempat menghadiri acara-acara mereka, pada akhirnya meninggalkannya, tokoh-tokoh ulama mencela pelaku-pelakunya sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qadir dan Syaikh Abul Bayan dan lain-lainnya. Sedangkan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa hal tersebut bersumber dari orang-orang zindiq, beliau adalah seorang imam dan ahli dalam Ushululislam (kaidah dasar-dasar Islam). Disamping karena hal tersebut tidak didengar kecuali oleh mereka yang dituduh zindiq seperti Ibnu Ruwandi, Al-Farabi dan Ibnu Sina serta yang semacam mereka. Sedangkan orang-orang yang hanif pengikut Ibrahim –alaihis-salam- yang Allah jadikan dia sebagai imam dan penganut agama Islam yang tidak menerima dari seorangpun agama selainnya dan mengikuti syariat Rasul terakhir Nabi Muhammad saw, maka tidak ada pada mereka orang yang menyukainya dan menye-rukan kepada perbuatan semacam itu. Mereka (yang dimaksud orang Islam) adalah pengikut Al Quran, keimanan dan petunjuk dan kebahagiaan, cahaya dan kemenangan, ahli ma’rifah, ilmu dan keyakinan serta keikhlasan kepada Allah, mencintai-Nya, tawakkal kepada-Nya, takut dan kembali kepada-Nya.

Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hakekat agama ini, keadaan hati, ma’rifahnya, seleranya serta perasaannya segera mengetahui bahwa mendengarkan orang yang bersiul dan bertepuk tangan tidaklah mendatangkan manfaat bagi hati dan kemaslahatan, tetapi justru mengandung kemudha-ratan dan bahaya yang lebih parah, hal tersebut bagi ruh seperti khamar bagi jasad, karena mengakibatkan pelakunya mabuk melebihi mabuknya seseorang dari khamar sehingga mereka merasakan kelezaran tanpa dapat membedakan, sebagaiman yang dirasakan orang yang mabuk karena minum khamar, bahkan dapat terjadi lebih banyak dan lebih besar dari peminum khamar, mencegah mereka dari zikir kepada Allah dan dari shalat melebihi apa yang dapat mencegah mereka karena minum khamar. Mendatangkan kepada mereka pertikaian dan permusuhan lebih besar dari apa yang didapatkan dari khamar”.

Dia juga berkata: “Adapun tarian, tidak diperintahkan oleh Allah, begitu juga Rasul-Nya, tidak juga salah seorang imam, akan tetapi Allah berfirman dalam kitab-Nya:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ [لقمان: 19]
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu”.(Luqman: 19)

وَعِبَادُ الرَّحْمَـنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْناً [الفرقان: 63]
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati”. (Al-Furqan: 63)
maksudnya dengan tenang dan penuh wibawa, sedangkan ibadahnya orang beriman adalah ruku’ dan sujud”.

Bahkan rebana dan tarian tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, tidak pula oleh seseorang dari kalangan salaf umat ini. Adapun perkataan orang-orang bahwa hal tersebut adalah jaring yang digunakan untuk “menjaring” orang-orang awam adalah benar adanya, karena kebanyakan mereka menjadikan jaring tersebut untuk mendapatkan makanan atau roti di atas makanan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيْراً مِنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ باِلْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ [التوبة: 34]
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya seba-gian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah”. (At-Taubah: 34)

Yang melakukan hal tersebut adalah tokoh-tokoh kesesatan yang dikatakan kepada pemimpin-pemimpin mereka:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّوْنَا السَّبِيْلاَ ● رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيْراً [الأحزاب : 67-6]
“Dan mereka berkata: “ Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (Al Ahzab 67-68)

Sedangkan jala yang dimaksud untuk menjaring massa, sesungguhnya adalah jala yang robek dimana buruannya keluar lagi jika telah masuk ke dalamnya, karena yang masuk untuk mendengar suara-suara bid’ah dalam tarekat sedang dia tidak memiliki landasan syari’at Allah dan Rasul-Nya, akan terwarisi dalam dirinya kondisi yang parah…. [20].

Kalangan tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, tepat bagi mereka firman Allah Ta’ala :
الَّذِيْنَ اتَّخَذُوا دِيْنَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً [الأعراف: 51]
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau” (Al-A’raf: 51)

6. Termasuk dari kebathilan ajaran tasawuf adalah apa yang mereka katakan bahwa ada derajat dimana orang yang memilikinya dapat keluar dari beban syariat seiring meningkatnya derajat tasawuf orang tersebut.

Mulanya tasawuf bermakna -sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi: Olah jiwa-: “membentuk watak dengan mengusir prilaku buruk dan mengarahkannya kepada akhlak mulia, berupa zuhud, santun, sabar, ikhlas dan jujur”.

Inilah yang dipahami oleh generasi pertama dari kalangan tasawuf, kemudian Iblis mengecoh mereka dalam beberapa hal, kemudian menyesatkan orang-orang sesudah mereka dan pengikut mereka. Maka setelah berlalu satu abad, keinginan Iblis untuk menyesatkan semakin menjadi-jadi hingga berhasil menyesatkan generasi belakangan. Prinsip dari penyesatan Iblis adalah mencegah mereka dari ilmu dan menggiring mereka kepada pemahaman bahwa yang paling penting adalah amal [21], maka ketika pelita ilmu padam dari mereka, mereka berjalan terhuyung-huyung dalam kegelapan, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah meninggalkan dunia secara keseluruhan, mereka menolak merawat tubuh mereka dan menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka lupa bahwa harta diciptakan untuk maslahat, mereka berlebih-lebihan membebani jiwa hingga ada diantara mereka yang hampir-hampir tidak pernah berbaring. Mereka sebenarnya punya tujuan yang baik, akan tetapi cara mereka tidak tepat.

Diantara mereka yang karena sedikit ilmunya beramal berdasarkan hadits-hadits palsu (maudhu) sedang dirinya tidak mengetahuinya, kemudian datang setelah itu orang-orang berbicara kepada mereka tentang lapar, kefakiran, was-was (keraguan) dan lintasan-lintasan pemikiran lalu mereka mengarang buku tentang hal tersebut; seperti Harits Al-Muhasibi, kemudian datang yang lain lagi lalu menyusun mazhab sufi dan memberinya kekhu-susan dengan sifat-sifat tertentu; penampilan lusuh, nyanyian sentimentil, tarian dan tepuk tangan. Kemudian perkaranya terus berkembang, para guru tarekat tersebut meletakkan beberapa perkara dan berbicara tentang kondisi-kondisi mereka, dan mereka jauh dari ulama, mereka melihat bahwa pada guru mereka terdapat kelebihan sehingga mereka menyebutnya dengan ilmu batin sementara ilmu syariat mereka anggap sebagai ilmu zahir. Diantara mereka ada yang karena rasa lapar melahirkan khayalan-khayalan yang rusak sehingga mereka mengaku tengah bermesraan dengan Al-Haq dan terbuai dengan-Nya. Seakan-akan mereka sedang menghayal seorang yang dengan paras menawan yang membuat mereka jatuh hati.

Mereka berada dalam kekufuran dan bid’ah, kemudian dari berbagai kaum yang ada mereka terpecah-pecah dalam berbagai macam tarekat, maka rusaklah aqidah mereka. Diantara mereka ada yang menyatakan ajaran Al-Hulul (peleburan antara dirinya dengan tuhan), ada juga yang mengatakan Al-Ittihad (Tuhan berada dalam dirinya), dan Iblis terus menjerumuskan mereka dengan berbagai macam bid’ah hingga mereka menjadikan untuk diri mereka ajaran-ajaran tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang kaum yang terus menerus melakukan olah jiwa kemudian mereka menyatakan bahwa diri mereka telah sampai pada tingkatan hakekat. Lalu mereka berkata: “kami sekarang tidak peduli lagi dengan apa yang kami ketahui, sesungguhnya perintah dan larangan adalah aturan untuk orang awam, seandainya mereka telah sampai pada hakekat maka gugurlah segala kewajiban pada mereka, dan kandungan kenabian itu adalah untuk mendatangkan hikmah dan maslahat, tujuan-nya adalah untuk mengikat orang orang awam, dan kami bukan lagi termasuk orang awam, kami telah masuk pada wilayah disingkirkannya setiap beban, karena kami telah sampai pada hakekat dan telah mengetahui hikmah”.

Maka Syaikhul Islam menjawab: “Tidak diragukan bagi kalangan berilmu dan beriman bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan yang sangat sarata dengan kekufuran, dia lebih buruk dari ucapan orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang Yahudi dan orang Nashrani mengimani sebagian isi Al Kitab dan ingkar kepada sebagian lainnya. Mereka (Yahudi dan Nash-rani) memang benar-benar orang kafir, tapi mereka tetap mengakui bahwa Allah memiliki perintah dan larangan, janji dan ancaman dan semua itu mengenai diri mereka juga hingga mati, hal ini jika mereka tetap berpegang teguh terhadap Agama Yahudi dan Nashrani yang sudah diubah dan dihapus, adapun orang-orang munafik di kalangan mereka sebagaimana pada umumnya, terjadi pada filosuf mereka, mereka lebih buruk dari kalangan munafik umat ini (umat Islam), karena mereka menampakkan kekufuran dan menyembunyikan kemunafikan, maka mereka lebih buruk dari yang orang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kemunafikan”.

Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan sejumlah keyakinan yang telah dihapus dan kandungannya telah mengalami perubahan itu lebih baik dari mereka yang mengaku telah gugurnya perintah dan larangan dalam diri mereka secara keseluruhan, karena dengan demikian mereka keluar dari semua kitab-kitab suci, syariat-syariat dan ajaran-ajaran dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Allah baik perintah maupun larangan.

Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih memegang teguh dengan sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim alaihissalam, karena pada diri mereka ada sedikit kebenaran yang mereka pegang teguh, meskipun dengan demikian mereka tetap orang-orang musyrik. Sedang mereka, orang-orang yang mengaku tersebut tidak ada keterikatan sama sekali dari kebenaran karena mereka mengaku bahwa semua itu sia-sia, tidak ada lagi perintah dan larangan buat mereka. Diantara mereka ada yang berhujjah dengan firman Allah Ta’ala :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ [الحجر: 99 ]

“Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99)

Mereka mengatakan bahwa artinya adalah : “Sem-bahlah Tuhanmu hingga kamu meraih ilmu dan ma’rifah, jika kamu mendapatkan hal tersebut maka gugurlah kewajiban ibadah darimu”. Sebagian lain mungkin ada yang berkata: “Beramallah hingga engkau mencapai derajat tertentu, jika telah sampai derajat tasawuf, maka gugurlah ibadah darimu”. Dan mereka adalah orang-orang yang apabila telah tercapai maksudnya berupa ma’rifah dan kondisi tertentu, maka baginya diperbolehkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melaksanakan yang diharamkan. Ini adalah kekufuran sebagaimana yang telah lalu. Dalil mereka atas firman Allah Ta’ala :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
[الحجر : 99 ]
“Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal))”. (Al-Hijr: 99)
sebenarnya itu adalah dalil yang memberatkan mereka bukan yang membela mereka. Hasan Basri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak membatasi kapan seseorang boleh meninggalkan amal shaleh kecuali setelah datang kematiannya”, kemudian beliau membaca ayat : واعبد ربك حتى يأتيك اليقين, karena yang dimaksud اليقين dalam ayat tersebut adalah kematian dan sesudahnya berdasarkan kesepakatan ulama. Hal tersebut seperti firman Allah Ta’ala:

وَمَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ  قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ  وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ  وَكُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ  وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ  حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنَ[المدثر: 42-47]

“Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar (neraka) ?”. Mereka menjawab: “ Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian”. (Al-Mudatsir: 42-47)

Hal ini mereka katakan saat mereka berada dalam neraka jahannam, mereka katakan bahwa dosa yang mereka perbuat adalah meninggalkan shalat dan zakat serta mendustakan hari kiamat, membicarakan yang bathil kepada orang-orang yang bathil, hingga datang kepada mereka kematian (اليقين). Sebagaiman diketahui bahwa saat mereka berkata demikian, mereka bukanlah orang-orang beriman dengan semua itu di dunia ini dan bukan pula orang-orang yang Allah katakan tentang mereka:
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ [البقرة: 4]
“Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat“
(Al-Baqarah: 4)

Jadi yang dimaksud dengan ayat: Hattaa ya’tiyakal yakin, adalah hingga datang kepada mereka apa yang dijanjikan, yaitu Al-yaqin (kematian).

Ayat tersebut menunjukkan atas wajibnya ibadah bagi seorang hamba sejak dia menginjak usia baligh dan berakal hingga kematiannya. Dan tidak ada kondisi sebelum kematian dimana beban kewajiban menjadi gugur sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang tasawuf.

Penutup
Itulah “agama” tasawuf yang dulu maupun sekarang, dan itulah sikap mereka dalam ibadah, kami berbicara tentang mereka semata-mata bersumber dari buku-buku mereka kecuali sedikit saja (yang berasal dari buku diluar mereka) serta buku-buku yang mengkritik mereka dan apa yang menunjukkan aktivitas-aktivitas mereka pada masa kini. Itupun yang saya bahas dari satu sisi saja dari sekian banyak pembahasan pada mereka, yaitu dari sisi ibadah dan sikap mereka tentang hal tersebut. Dan masih banyak sisi-sisi lain yang butuh pembahasan-pembahasan, seperti sikap mereka tentang tauhid, kerasulan, tentang syariat, taqdir dan yang lainnya.

Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar memperlihatkan kepada kita bahwa yang haq itu adalah haq dan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita bahwa yang bathil itu adalah bathil dan memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhinya dan agar Dia tidak menggoyahkan hati-hati kita setelah kita diberi petunjuk oleh-Nya.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Footnote :
17. Majmu’ Fatawa, 11/210-216
18. Mekkah dan sekitarnya.
19. Sekarang ini menjadi negara Palestina, Yordania, Lebanon dan Syiria.
20. Majmu’ Fatawa (11/569-574)
21. Walau tanpa dilandasi pemahaman yang benar tentang amal tersebut berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah

(Dikutip dari tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan, judul asli حقيقة التصوف وموقف الصوفية
من أصول العبادة والدين, Edisi bahasa Indonesia Hakikat Sufi dan Sikap Kaum Sufi terhadap prinsip Ibadah dan Agama. Diterbitkan oleh Depag Saudi Arabia)
Selengkapnya...

Membongkar Ajaran Tasawwuf (1)

Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Sikap Kalangan Tasawuf Dalam Ibadah Dan Agama

Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :

1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.

Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.

Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

إِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ

“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.

Al Allamah Ibnu Qoyyim berkata :
وَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ
مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ
وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ
مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ

Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya
Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub
Dan di atas keduanya rotasi ibadah berputar.
Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.

Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.

“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq [9], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah [10] dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [11], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”

Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.

Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [12]

Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ [آل عمرن: 31]

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)

Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.

Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.

2. Kalangan sufi pada umumnya tidak menem-puh cara keberagamaan yang benar, yaitu beribadah dengan tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka justru merujuk kepada selera mereka atau apa yang diajarkan guru-guru mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah. Kadang-kadang mereka berdalil dengan kisah-kisah, mimpi-mimpi atau hadits-hadits maudhu’ [13] untuk mendukung pendapat mereka ketimbang berdalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun di atasnya “agama” sufi.

Sebagaimana diketahui bahwa sebuah ibadah tidak dikatakan ibadah yang shahih (benar) kecuali jika dia dibangun di atas landasan Al Quran dan As Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Mereka –orang-orang Sufi- berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada rabb mereka seba-gaimana berpegang teguhnya orang-orang nashara terhadap ucapan-ucapan mutasyabih (samar) atau hikayat-hikayat yang tidak diketahui sejauh mana kebenaran yang menceritakannya, seandainyapun benar dia bukanlah orang yang ma’shum. Maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka……”

Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah dengan tidak kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah Ta’ala :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
[الأنعام: 153]

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya…”. (Al An’am 153)

Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan menceraiberaikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus (sirathal mustaqim). Masalah ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah (kelompok) memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqoh yang lain. Setiap firqah memiliki Syaikh (guru) yang mereka namakan syek tariqah (guru tarekat) yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan menjauh dari siratalmustaqim (jalan yang lurus). Dan Syaikh ini yang mereka sebut Syaikh tariqah memiliki wewenang mutlak untuk menentukan sedang mereka (murid-muridnya) hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantahnya sama sekali . Bahkan hingga mereka berkata:
الْمُرِيْدُ مَعَ شَيْخِهِ يَكُوْنُ كَالْمَيِّتِ مَعَ غَاسِلِهِ
“Al-Murid [14] dihadapan Syaikhnya bagaikan mayat di-hadapan orang yang memandikannya”.

Kadang-kadang sebagian Syaikh tersebut mengaku bahwa apa yang diperintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah.

3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada zikir-zikir atau wirid-wirid yang telah ditetapkan guru-guru mereka.

Mereka menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Quran. Mereka menamakannya sebagai zikrul khashshah (zikir untuk orang-orang khusus). Sedangkan zikir yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan zikirulammah (zikir untuk orang awam). Ucapan لا إله إلا الله bagi mereka adalah zikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz: الله, dan zikir khassatul khashshah (yang lebih khusus lagi) adalah :هو (Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapan:
لا إله إلا الله sebagai zikirulammah dan zikirulkhassah-nya adalah kata tunggal (الله), dan zikir yang lebih khususnya lagi (هو) yaitu isim dhomir (kata ganti) maka dia sesat dan menyesatkan. Jika mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ[
الأنعام : 91]

“Katakan: “Allah” (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya” (Al An’am: 91)
Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya. Karena kata (الله) disebut dalam ayat tersebut sebagai perintah atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala :

مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوْسَى نُوْراً وَهُدىً لِّلنَّاسِ
[الأنعام: 91]

“Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”
hingga firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ
“Katakanlah: Allah”
maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Quran yang dibawa Musa alaihissalam.

Kata Allah merupakan mubtada’ (yang diterangkan) dan khobar-nya (yang menerangkan) adalah kalimat pertanyaan tersebut. Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya: Siapa tetanggamu ?, maka dia menjawab: Zaid. Sedangkan kata tunggal baik tampak ataupun kata gantinya tidaklah dikatakan kalimat sempurna, bukan juga susunan yang dipahami (jumlah mufidah), tidak juga berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama pendahulu yang me-nyebutkannya, tidak juga diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga memberikan ma’rifah (pemahaman) yang bermanfaat dalam hati atau keadaan. Dan ketika diberikan gambaran secara mutlak, maka dia tidak mengandung hukum nafy (peniadaan) dan itsbat (penetapan) [15] hingga sebagian mereka yang mengamalkan dengan kontinyu zikir dengan kata tunggal (الله) atau dengan: (هو) terjerumus dalam sebagian pemahamam atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) atau semacam kepercayaan manunggaling (kepercayaan bersatunya Allah dengan makhluknya). Sedangkan apa yang disinyalir bahwa sebagian Syaikh berkata :

“Saya takut mati dalam keadaan antara nafy (meniadakan tuhan) dan itsbat (menetapkan Allah)”.
Sesungguhnya kondisi seperti itu tidak akan ditemui oleh yang mengucapkannya. Tidak diragukan bahwa dugaan tersebut terdapat kekeliruan, karena jika seseorang mati dalam kondisi tersebut (antara meniadakan Tuhan dan menetapkan Tuhan) maka dia mati dalam keadaan apa yang dia niatkan atau yang dia maksud, karena amal itu tergantung niatnya. Apalagi ada riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentalqinkan orang yang sedang sekarat dengan ucapan : لا إله إلا الله, seraya bersabda :
» مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ «

“Siapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, dia masuk syurga”

Seandainya apa yang dia sebutkan terlarang, niscaya orang yang sedang sekarat tidak di-talqinkan dengan kalimat yang dikhawatirkan dia meninggal dalam keadaan tidak terpuji. Karena itu zikir dengan kata tunggal (الله) atau kata ganti (هو) merupakan sesuatu yang jauh meninggalkan sunnah dan termasuk kepada bid’ah serta lebih dekat kepada penyesatan setan. Karena siapa yang mengatakan :
يَا هُوَ يَا هُوَ atau هُوَ هُوَ
atau yang semacamnya, maka tempat kembali dari kata ganti tesebut tidak lain kecuali apa yang digambarkan hatinya, sedangkan hati bisa jadi mendapat petunjuk atau sesat. Pengarang kitab “Al-Fushush” telah menyusun suatu kitab yang diberi nama : “الهُو” (Sang Dia).
Sebagian mereka menyangka bahwa maksud firman Allah Ta’ala :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ

[آل عمران : 7]

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. (Ali Imran: 7)
adalah: tidak ada yang mengetahui tafsir dari nama ini yang ternyata dia selain Dia.

Kaum muslimin bahkan para pemikir sepakat bahwa hal tersebut merupakan kebatilan yang nyata. Bisa jadi ada sebagian yang memiliki pemahaman yang sama. Saya katakan kepada sebagian yang mengatakan hal seperti itu bahwa seandainya itu yang anda katakan maka niscaya ayatnya berbunyi: وما يعلم تأويل هو dengan terpisah [16], maksudnya kata (هو) ditulis terpisah dari kata (تأويل) ..

Footnote :

9. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah).

10. Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali

11. Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul.

12. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’

13. Hadits yang dibuat-buat (hadits palsu)

14. Orang yang mengikuti salah satu syekh dalam sebuah tarekat sufi.

15. Kalimat tauhid jika diucapkan secara lengkap (لا إله إلا الله) mengandung arti yang sangat penting; yaitu adanya nafy (meniadakan segala bentuk ketuhanan selain Allah/لا إله) dan Itsbat (hanya mengakui Allah sebagai tuhan/إلا الله). Sedangkan jika diucapakan secara mutlak begitu saja dengan lafaz الله maka arti yang sangat penting tersebut akan hilang.

16. Risalah Al-Ubudiyah, hal 117-118, cet. Al-Ifta’

(Dikutip dari tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan, judul asli حقيقة التصوف وموقف الصوفية


Selengkapnya...

Rabu, 16 Maret 2011

Jawaban atas pertanyaan: Mengapa masih mempermasalahkan bid’ah?



Bid’ah merupakan perbuatan yang menodai kesempurnaan ajaran islam. Sebuah kedustaan atas nama agama. Bahkan dapat meruntuhkan sendi-sendi sunnah Rosululloh. Bid’ah termasuk fitnah besar yang melanda kaum muslimin. Kesesatan ini disebabkan penganggapan bahwa amalan tersebut bersumber dari islam padahal sama sekali tidak ada, baik perintah, anjuran bahkan contohnya dari Rosululloh dan para shohabatnya yang mana mereka adalah tauladan dalam memahami dan mengamalkan islam.

Ketika masalah bid’ah dikaji, ditahdzir dan didakwahkan akan marabahayanya maka banyak orang yang merasa gerah, resah, gelisah, takut, marah dan bahkan tersinggung karena membongkar kedok kesesatannya yang mengatasnamakan ibadah. ada diantara mereka yang berusaha mencari jalan keluar, diantaranya dengan mengatakan bahwa bid’ah  itu ada dua: bid’ah sayi’ah dan bid’ah hasanah padahal menurut Rosululloh sholallohu alaihi wassalam “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu berada di api neraka.” (HR. Abu dawud No.3607, at-Tirmidzi No.2678 dan Ibnu majah No.43 Dan derajat hadits ini shohih) ada juga mencarai alasan lain, diantaranya:
1. Jangan membahas masalah bid’ah karena akan meresahkan masyarakat.
2. Jangan menentang tradisi umum masyarakat dan tokoh serta pemuka agama
3. Orang-orang barat sudah ke bulan dan technologinya maju ko masih aja mempermasalahkan bid’ah. Dan alasan lainnya.
Semua pertanyaan itu dapat kita simpulkan “mengapa masih  mempermasalahkan bid’ah” dan sebenarnya tulisan ini juga jawaban atas disukusi dengan teman facebook yang mengatakan “Marhabanan, tahlilan dan pembecaan surat yasin secara berjama’ah adalah tradisi warosatul anbiya” kemudian temannya yang ikut melontarkan syubatpun menuliskan tanggapan di akun facebooknya dan dikomentari teman-teman seperjuangannya yang inti pembahasannya “Mengapa di zaman modern ini masih membicarakan bid’ah”
Dengan menyebut nama Alloh ta’ala serta memohon pertolongan-Nya maka kami jawab dengan ringkas atas syubhat-syubhat kampungan itu:

Selengkapnya...

Ciri Ahlus Sunnah dan Pengertian Ahlus Sunnah, Perbedaan Dakwah Salaf dengan Yang lain,Syubhat Salafy dan Bantahannya

1. Ahlussunnah dalam menjalankan agama hanya berdasar pada Al Kitab dan assunnah. Cirinya yaitu dengan mendahulukan apa yang difirmankan Allah atas ucapan seluruh manusia, dan mendahulukan petunjuk Rasulullah atas seluruh petunjuk lainnya serta mengikuti jejak beliau secara lahir dan bathin. Banyak sekali kok ayat dan hadist yang menyatakan tentang masalah ini.
2. Ahlussunnah dalam memahami agama (al-Qur”an dan Hadist) hanya berdasarkan pemahaman para salafush shalih bukan atas pemahaman nafsu golongan atau pribadi. Semua dikembalikan kepada pemahaman mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim Al Jauziah (kamu tahu khan siapa beliau ? Ulama besar murid terkasih Ibnu Taimiyah !Umat bilang beliau seorang dokter hati) berkata, Sesungguhnya pengambilan dalil yang terbaik atas makna ayat-ayat Al Qur”an adalah dengan cara mengambil apa yang telah diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpercaya) dari Rasulullah kemudian mengikuti apa-apa yang telah dijelaskan oleh para sahabat, tabi”in dan Aimatul Huda (para imam).
3. Dakwah ahlussunnah adalah dakwah yang gampang dan mudah, ia dapat diterima siapa saja dan dimana saja, dengan mendasarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah dan dilaksanakan para sahabat. Coba lihat sabda baginda Rasulullah, Sesungguhnya dien (agama) ini mudah, tidaklah sesorang itu berlebihan dalam menjalankan agama melainkan pasti akan kesulitan sendiri. (HR. Bukhari). Dengan berdasar pada sabda baginda ini ahlussunnah hanya menjalankan apa yang diajarkan Rasuullah dengan tanpa menambah atau menguranginya (berlebihan). Ajaran inilah yang merupakan ajaran paling gampang dan mudah dilaksanakan serta sesuai dengan fitrah manusia. Semuanya bersih dari kesemrawutan, berlebihan atau menyepelekan. Ahlussunnah selalu berada di tengah-tengah yaitu tidak berlebihan dan tidak pula menyepelekan.

Selengkapnya...

Senin, 14 Maret 2011

Mengurai Kesesatan "Ihya' 'Ulumuddin"

Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupa-kan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.

Rosululloh Shallallohu 'alaihi Wa Sallam bersabda:


وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ


“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Selengkapnya...

Sabtu, 12 Maret 2011

Bila Cinta Menyapa

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridhaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridhaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zhalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat adzab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka/sesembahan tandingan itu sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7. islamspirit.com).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah yaitu [sesembahan-sesembahan] tandingan. Mereka menyembahnya disamping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, tidak ada yang sanggup menentang-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya. Di dalam Ash-Shahihain [Sahih Bukhari dan Muslim] dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-, dia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar.” Beliau menjawab : “Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya padahal Dialah yang menciptakanmu.” Sedangkan firman Allah, “adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, I/262)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah ta’ala maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah… Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180).

Syaikhul Islam mengatakan : “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan adzab (yang artinya) : “Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 97-98). Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan mensejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun mereka hanya mensejejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan…” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, II/4-5).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan kemenangan hamba. Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)…” Beliau menegaskan : “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu koneskuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada rasul –bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua dan anak-anak- merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Buktikan Cintamu!

Dari Anas radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia menjadikan aku lebih dicintainya daripada anak, orang tua dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka keimanan tidak menjadi sempurna sampai Rasul lebih dicintainya daripada seluruh makhluk. Kalau demikian halnya yang seharusnya diterapkan dalam kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada Allah ta’ala?!!…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/6).

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي

“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku.” (QS. Ali-’Imraan : 31). Syaikhul Islam berkata : “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al-’Ubudiyah)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya, mungkin karena dzat sesuatu itu sendiri (sebab internal) seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang pada dirinya terdapat ketiganya niscaya akan merasakan manisnya iman; [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, [2] dia mencintai orang lain tidak lain disebabkan cinta karena Allah, [3] dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [15,20,5581,6428] dan Muslim [60,61] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [92] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu disahihkan Al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332).

Maka perhatikanlah wahai saudaraku kecenderungan dan gerak-gerik hatimu, jangan-jangan selama ini engkau telah menobatkan sesembahan selain Allah jauh di dalam lubuk hatimu; entah itu harta, kedudukan, jabatan, benda, atau sesosok manusia. Engkau mengharapkannya, menggantungkan cita-citamu kepadanya, takut kehilangan dirinya sebagaimana rasa takutmu kehilangan bantuan dari Allah ta’ala, sehingga keridhaannya pun menjadi tujuan segala perbuatan dan tingkah lakumu. Halal dan haram tidak lagi kau pedulikan, aturan Allah pun kau lupakan. Aduhai, betapa malang orang-orang yang telah menjadikan makhluk yang lemah dan tak berdaya sebagai tumpuan harapan hidupnya. Sungguh benar Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).

Semoga Allah menyelamatkan hati kita dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya, dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk menjunjung tinggi kecintaan kepada-Nya di atas segala-galanya. Sebab tidak ada lagi yang lebih melegakan hati dan perasaan kita selain tatkala Allah ta’ala telah menetapkan cinta-Nya untuk kita, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi-Nya, segala puji bagi Allah Rabb penguasa seluruh alam semesta.

Sumber: muslim.or.id
Selengkapnya...

Jadilah Lelaki Pertama Di Hatinya

Bijairumi mengatakan, “Menikahi bikr atau gadis itu memiliki tiga manfaat sebagai berikut:

إحداها أن تحب الزوج الاول وتألفه، والطباع مجبولة على الانس بأول مأولف، وأما التي مارست الرجال فربما لا ترضى ببعض الاوصاف التي تخالف ما ألفته فتكره الزوج الثاني.

Pertama, dia akan mencintai dan akrab dengan suaminya yang pertama. Manusia memiliki karakter untuk merasa nyaman dengan hal pertama kali yang dia kenal. Sedangkan wanita yang telah berpengalaman dengan banyak laki-laki maka boleh jadi dia tidak suka dengan sebuah sifat atau perilaku yang berbeda dengan perilaku yang telah biasa dia terima akhirnya dia kurang suka dengan suami yang pertama.

الفائدة الثانية أن ذلك أكمل في مودته لها.

Kedua, memiliki istri gadis untuk menjadi sebab suami memiliki cinta yang lebih sempurna kepadanya

الثالثة: لا تحن إلا للزوج الاول.

Ketiga, seorang gadis tidak akan kangen dan terkenang kecuali kepada pasangan yang pertama.

ولبعضهم: نقل فؤادك حيث شئت من الهوى # ما الحب إلا للحبيب الاول

Seorang penyair mengatakan,
Tambatkan hatimu pada siapa saja yang kau sukai
Tidaklah cinta kecuali pada lelaki pertama yang kau cintai

كم منزل في الارض يألفه الفتى # وحنينه أبدا لاول منزل ؟ اه.

Betapa banyak tempat yang pernah disinggahi
Rasa kangen hanyalah pada tempat yang pertama kali”. Sekian kutipan dari perkataan al Baijuri. ”
[Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 3 hal 271, karya Sayyid Muhammad Syatho cetakan al Haramain]

Jika kita bawa penjelasan di atas kepada realita sekeliling kita, bisa kita simpulkan bahwa bikr atau gadis yang dimaksudkan oleh para ulama sebagai wanita yang dianjurkan untuk dinikahi bukanlah sembarang gadis alias asalkan masih perawan namun gadis yang belum pernah tersentuh atau terjamah laki-laki dengan bahasa lain belum pernah jatuh ke dalam dekapan laki-laki yang pernah menempati ruangan khusus dalam hatinya. Itulah -meminjam istilah dari Abu Muhammad al Ashri-gadis “culun” yang belum pernah mengenal pacar dan pacaran apalagi malah pernah menjadi playgirl. Sungguh beruntung laki-laki yang mendapatkannya.

Artikel www.ustadzaris.com
Selengkapnya...

Senin, 07 Maret 2011

Hukum Memelihara Jenggot

Pertanyaan:
Apakah memelihara jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya
berdosa atau hanya merusak Dien? Apakah mencukurnya hanya boleh bila disertai dengan
memelihara kumis?

Jawaban:
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat hadits yang shahih dari
Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam- yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim di
dalam kitab Shahih keduanya dari hadits Ibnu Umar –rodliallaahu’anhu-, dia berkata,
Rasulullah –shollallaahu’alaihi wasallam- bersabda,
“Selisihilah orang-orang musyrik; potonglah kumis (hingga habis) dan sempurnakan jenggot
(biarkan tumbuh lebat-penj.).” (Shahih al-Bukhari, kitab al-Libas (5892, 5893); Shahih
Muslim, kitab ath-Thaharah, (259))

Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah –shollallaahu’alaihi
wasallam- bersabda (artinya), “Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang,
selisihilah orang-orang Majusi.” (Shahih Muslim, kitab ath-Thaharah (260)).
Imam an-Nasa’i di dalam Sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari
Zaid bin Arqam, dia berkata, Rasulullah –shollallaahu’alaihi wasallam- bersabda,
“Barangsiapa yang tidak pernah mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia
bukan termasuk dari golongan kami.” (Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Adab (2761); Sunan an-
Nasa’i, kitab ath-Thaharah (13) dan kitab az-Zinah (5047)).
Al-’Allamah Besar dan al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Para ulama
telah bersepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardhu
(wajib).”
Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong habis kumis dan
memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit
untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.
Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma’ oleh Ibnu Hazm diketahui jawaban terhadap
ketiga pertanyaan di atas, ulasan ringkas-nya; bahwa memelihara, memperbanyak dan
membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan sebab Rasulullah
memerintahkan demikian sementara perintahnya mengandung makna wajib sebagaimana
firman Allah –subhanahu wata’ala- (artinya), “Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).
Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya akan tetapi memotong
habis adalah lebih afdhal (utama), sedangkan memperbanyak atau membiarkanya begitu
saja, maka tidak boleh hukumnya karena bertentangan dengan sabda Nabi
shollallaahu’alaihi wasallam.
Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya
merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan
memotongya termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan
memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya ke-murkaan Allah dan
azabNya.
Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa
memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan
menyerupai orang-orang majusi dan orang-orang musyrik padahal sudah diketahui bahwa
menye-rupai mereka adalah perbuatan yang munkar, tidak boleh dilakukan berdasarkan
sabda Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam-,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.”
(Sunan Abu Daud, kitab al-Libas (4031); Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)).
Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan. Wallahu wa-liyyut taufiq. Washallallahu
wa sallam ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbih.

Rujukan:
Kumpulan Fatwa-fatwa, Juz III, hal. 362, 363 dari Syaikh Bin Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Selengkapnya...

Rabu, 02 Maret 2011

Mengenal Kelompok Ahmadiyah

JAI (Jemaat Ahmadiyah —Qadyan— Indonesia) dan GAI (Gerakan Ahmadiyah —Lahore— Indonesia); mereka sama-sama mengimani Tadzkirah (kitab suci Ahmadiyah, yang disebut kumpulan wahyu muqoddas —suci— yang diyakini sebagai wahyu dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad).

Padahal inti kesesatannya yang sampai mereka dihukumi kafir, karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu kemudian dikumpulkan dalam bentuk kumpulan wahyu yang dinamai Tadzkirah itu.

Segala kesesatan sampai Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan Rasul, bahkan mengaku kedudukannya sebagai anak Allah, atau bahkan MGA itu dari Allah, dan Allah itu dari MGA; semuanya ada di Tadzkirah, dan diyakini oleh Ahmadiyah Qadyan maupun Lahore. Itu adalah kemusyrikan yang nyata.

Ahmadiyah Lahore tidak mau menerima pemahaman bahwa kekhalifahan hanya dipegang oleh anak cucu Mirza Ghulam Ahmad. Maka sejak matinya Nuruddin Bairawi, Ahmadiyah pecah jadi dua, Qadyan dan Lahore. Basyiruddin memimpin JA (Jemaat Ahmadiyah) Qadyan sebagai Khalifah yang kedua menggantikan Nuruddin, sedang Muhammad Ali memimpin AL (Ahmadiyah Lahore).

Dari Basyiruddin dan selanjutnya seakan kekhalifahannya itu adalah kerajaan. Itulah perbedaannya antara Ahmadiyah Qadyan dan Lahore. Sebenarnya sama, hanya beda hal-hal yang seperti tersebut.

Keputusan Muktamar II Mujamma’ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqih Islam) di Jeddah, Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah, antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath'i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

إِنَّ مَاادَّعَاهُ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَد مِنَ النُّبُوَّةِ وّالرِّسَالَةِ وَنُزُوْلِ الْوَحْيِ عَلَيْهِ إِنْكَارٌ صَرِيْحٌ لِمَا ثَبَتَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ ثُبُوْتًا قَطْعِيًّا يَقِيْنِيًّا مِنْ خَتْمِ الرِّسَالَةِ وَالنُّبُوَّةِ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ لاَيَنْزِلُ وَحْيٌ عَلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ، وَهذِهِ الدَّعْوَى مِنْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ تَجْعَلُهُ وَسَائِرَ مَنْ يُوَافِقُوْنَهُ عَلَيْهَا مُرْتَدِّيْنَ خَارِجِيْنَ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، وَأَمَّا الَّلاهُوْرِيَّةُ فَإِنَّهُمْ كَالْقَادِيَانِيَّةِ فِي الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ بِالرِّدَّةِ، بِالرَّغْمِ مِنْ وَصْفِهِمْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ بِأَنَّهُ ظِلٌّ وِبُرُوْزٌ لِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.


"Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath'i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW". (Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami —Akademi Fiqih Islam— Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi' al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M).

Beda Ahmadiyah Qadyan, Ahmadiyah Lahore, dan Islam
Menurut penelitian M Amin Djamaluddin ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam mengenai Ahmadiyah di Indonesia sebagai berikut:

Dari segi keorganisasian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki dua kelompok yang berbeda dengan keyakinan (aqidah) yang berbeda pula. Pertama, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, kelompok ini biasa disebut dengan Ahmadiyah Qadiyan. Kedua, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, biasa disebut Ahmadiyah Lahore.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang nabi dan rasul.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu.

3. Wahyu-wahyu tersebut diturunkan kepada Nabi Mirza Ghulam Ahmad di India.

4. Menurut buku putih mereka, wahyu-wahyu tersebut ditulis Nabi Mirza dan terpencar dalam delapan puluh enam buku (Buku Putih, Kami Orang Islam, PB JAI, 1983, hal. 140-141).

5. Wahyu-wahyu yang terpencar itu kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku bernama: Tadzkirah ya’ni wahyul muqoddas (Tadzkirah adalah: kumpulan wahyu-wahyu suci/sebuah kitab suci yaitu kitab suci Tadzkirah).

6. Mereka mempunyai kapling kuburan surga di Qadiyan (tempat kuburan nabi Mirza). Kelompok ini menjual sertifikat kuburan surga tersebut kepada jama’ahnya dengan mematok harga yang sangat mahal. (copian sertifikat kuburan surga di Rabwah, dari buku Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiyani, Rabithah Alam Islami, Makkah Mukarramah, 1408H/1988M, hal, 64-65).

7. Qadiyan dan Rabwah bagi mereka adalah sebagai tempat suci.

Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang mujaddid (pembaharu) Islam.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s muhaddats (orang yang berbicara dengan Allah secara langsung).

3. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu. Adapun wahyu yang diterima Mirza merupakan potongan-potongan dari ayat Al Qur’an. Penurunan ayat yang sepotong-sepotong itu bukan berarti membajak ayat Al Qur’an. Menurut keyakinan mereka “Itu bukan urusan Mirza Ghulam Ahmad, tetapi urusan Allah”. (PB GAI, Agustus 2002, hal. 13).

4. Seluruh wahyu-wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad itu adalah betul-betul wahyu yang datang dari Allah SWT.

Ahmadiyah berbeda jauh dengan Islam

Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhoi-Nya, bukan pendapat manusia, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ


Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali ‘Imran [3] : 19).
• وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(85)

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali ‘Imran [3] : 85).

Nabi Muhammad SAW menjelaskan secara gambling:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ».


Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Dalam penerapan agama itu maka tidak ada pilihan lain lagi, apabila Allah dan rasul-Nya telah menentukan sesuatu.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا


Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzaab [33] : 36)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nuur [24] : 51)

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ، وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Ahzab [33]: 40)
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ، ذلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ


“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-An’am [6] : 153)

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ … (المائدة : 105)


“Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS. al-Ma’idah [5] : 105)

Hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam.; a.l.:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، لاَنَبِيَّ بَعْدِيْ (رواه البخاري(

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada nabi sesudahku.” (HR. Bukhari).

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ، فَلاَ رَسُوْلَ بَعْدِيْ وَلاَ نَبِيَّ


Rasulullah SAW bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR. Tirmidzi)

Mengenai berbagai betapa sesatnya Ahmadiyah dan adanya kelompok-kelompok yang mengaku Islam namun justru membela aliran sesat Ahmadiyah dapat dibaca di buku Kyai kok Bergelimang Kemusyrikan, karya Hartono Ahmad Jaiz dkk, Pustaka Nahi Munkar, Jakarta-Surabaya, 2008, atau cetakan edisi lux yang terbit di Saudi Arabia dan beredar di berbagai kota di sana.

Di antara kesesatan Ahmadiyah selain meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi adalah memalsu dan memlesetkan ayat. Contohnya, Ahmadiyah memelestkan ayat tabbat yadaa abi lahab. Lanjutannya bukan maa aghnaa ‘anhu maaluhuu wamaa kasab, tetapi maa kaana lahuu an yadkhula fiihaa illaa khaaifaa (Dia tidak masuk ke dalamnya —neraka— kecuali dengan rasa takut).

Masih banyak ayat-ayat yang dipalsukan, dijelaskan dalam buku itu, di samping aliran-aliran sesat lainnya dengan aneka penyesatannya pula.

Seakan buku itu sebagai lanjutan dari buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia yang membincang berbagai corak aliran sesat.

Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat(eramuslim.com)
Selengkapnya...

Senin, 28 Februari 2011

Menyingkap Konspirasi Terselubung Syi'ah Iran!!!

Menyingkap Konspirasi Terselubung Syi’ah Iran
Sejak bergulirnya revolusi Iran dibawah kepemimpinan Imam Khomeini, Iran berubah menjadi sebuah Negara digdaya di kawasan Arab. Kekuatan militer mereka berkembang pesat. Pun, mereka kerap melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan-kebijakan barat yang diskriminatif, dimana hanya negara- negara yang bernyali yang bisa melakukan hal tersebut. Tak pernah gentar terhadap gertakan Negara adidaya AS seputar pengembangan teknologi nuklirnya.

Dan seringkali pula menunjukkan kepeduliannya atas negeri-negeri muslim yang lemah dan terjajah, walaupun hanya sekedar memberikan komentar pedas dalam forum-forum dunia. Dan begitu besar sikap permusuhannya terhadap Israel Yahudi yang telah banyak menelan jiwa kaum muslimin.

Sepak terjang Iran telah banyak menarik simpati kaum muslimin dunia. Pasca runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani, kaum muslimin telah kehilangan pelindungnya. Dan kini Iran muncul menentang kezhaliman dunia Barat (kafir) terhadap dunia Islam ditengah kebisuan dan ketidakberdayaan para pemimpin-pemimpin negeri Arab. Hmmm.. Apakah Iran akan menjadi bagian dari seri sejarah keperkasaan Islam?


Secara kasat mata memang seperti itulah adanya. Namun sejarah telah berkata lain tentang Iran yang berakidahkan Syiah Ghulat (Rafidhah). Lihatlah bagaimana syiah mempunyai andil atas terbunuhnya sahabat Rosululloh shalallohu alaihi wa sallam yang mulia, Ali bin Abi Thalib. Begitu juga pengkhianatan mereka atas Husein rodhiallohu ‘anhu. Dan tak akan hilang dari catatan sejarah bagaimana syiah berkonspirasi dengan pasukan Tar-Tar untuk mengkudeta kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Sejarah justru bertutur bahwa Syiah adalah musuh besar bagi kaum muslim sunni.

Lalu bagaimana dengan Syiah Iran saat ini? Tindak-tanduknya memang terlihat pro terhadap Islam, tapi wajib diketahui bahwa orang-orang syiah adalah orang-orang yang pendusta. Saat ini mereka berkata A, sedetik kemudian mereka berpaling akan berubah menjadi B. Hal ini karena mereka memasukkan dusta sebagai bagian dari akidah (taqiyah). (Al-kafi: 2/219)
Banyak fakta telah terungkap bahwa pada kenyataannya permusuhan Iran justru tertuju kepada Islam itu sendiri. Lihatlah di Ibukota Iran, Teheran. Silahkan Anda hitung berapa banyak Masjid-Masjid Sunni jika dibandingkan dengan Sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi) ?! Tidak ada satupun Masjid sunni berdiri disana, justru Sinagog bertebaran hingga lebih dari 45 buah! Padahal populasi muslim sunni di Iran adalah terbesar kedua setelah Syiah. Itu hanya secuil bukti ketimpangan amal perkataan dengan fakta lapangan. (sm)

Mungkin banyak juga yang belum tahu kalau Imam Khomeini memimpin Revolusi dari tempat pengasingannya di Perancis. Tapi pasti kaum muslimin tahu kalau Perancis dan AS adalah sekutu intim. Tentu ada permainan diantara mereka bertiga; Khomeini, Perancis dan AS (dalam hal ini CIA). Pun pada masa kekuasaannnya Khomeni, Iran telah bermesraan dengan AS dan Israel. Kita bisa ketahui hal ini dalam kasus skandal “Iran kontra”.

Dan mungkin tidak banyak orang tahu kalau yang memuluskan jalan Amerika untuk menyerang Irak yang mayoritas Sunni salahsatunya adalah Syiah Iran. Syiah Iran mengizinkan kapal induk Amerika memasuki wilayah perairan Teluk Persia Iran dan menjadikannya sebagai basis militer angkatan laut dan udara Amerika. Mereka juga memberikan bantuan berupa pemberian informasi intelijen ke AS. Seandainya memang Iran pro terhadap kaum muslimin tentunya hal itu tidak akan terjadi.

Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa Syiah memiliki kebencian yang mendalam kepada Sunni. Kita bisa dapati hal tersebut pada kitab-kitab rujukannya. Jika kita mau sedikit saja berusaha mencari informasi tentang hal ini, maka itu sudah cukup bagi kita untuk dapat menemukan sekian banyak bukti kekejaman syiah terhadap sunni. Mereka tega membantai 500 orang sunni yang berada dipenjara dengan cara merubuhkan penjara tersebut. Mereka tega membantai orang sunni hanya lantaran memiliki nama para sahabat yang mulia; Abu Bakar, Umar, dan Utsman . Mereka tega menggantung para ulama Sunni dengan tuduhan-tuduhan yang tak berbukti. Apakah seperti ini kelakuan pelindung umat?! Tidak, mereka hanya melindungi diri mereka sendiri sebagai syiah bukan sebagai bagian kaum muslimin sebagaimana yang kerap mereka gembar-gemborkan dihadapan publik.
Kini Iran tengah berusaha mengekspor revolusinya ke berbagai negara, terutama wilayah Arab. Di Libanon, Suriah dan Bahrain, Syiah telah menancapkan ideologinya. Mereka berusaha menguasai Negara-negara terusan Suez dengan maksud agar mempermudah suplai senjata kepada pejuang-pejuang mereka. Mereka telah masuk ke Eritrea yang miskin, dan sedang menuju ke gerbang laut merah yang mengontrol terusan Suez. Dari sini Iran dapat mengancam Yaman dan Arab Saudi dan meneruskan persenjataannya ke Sudan dan Mesir Setidaknya itulah yang dikatakan oleh mantan panglima perang dan Ahli Strategi Mesir, Hussam Sweilem. Masih menurut Hussam Sweilem, bahkan Syiah Iran memiliki departemen tersendiri di kementrian dalam negeri yang menangani program ekspor ideology syiah ke luar negeri. (erm)


Namun keberanian Syiah menentang hegemoni AS telah menawan sebagian kaum Sunni yang awam. Sungguh seandainya Syiah menjadi mayoritas di negeri ini, maka niscaya nasib kita akan serupa dengan nasib saudara-saudara kita di Iran. [hsm/syiahindonesia.com]

Selengkapnya...

Masih Layakkah Pemerintahan Indonesia Kita Ta'ati?

Masih Layakkah Pemerintahan Indonesia Kita Taati?

Oleh al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah


Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)


Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?

Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.

Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:

1) Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.

2) Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.

Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.

Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.

Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)

Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.

Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.

Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Wallahul Musta’an.

Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com
Selengkapnya...

Jumat, 25 Februari 2011

Belajarlah untuk Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zainuddin, Lc

Belajarlah untuk Mengatakan “Saya Tidak Tahu”
(Renungan bagi para penuntut ilmu, ustadz, kiyai, ahli fatwa, pembicara atas nama agama dan semisalnya)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
1 – عن مَسْرُوقٍ قال كنا عِنْدَ عبد اللَّهِ جُلُوسًا وهو مُضْطَجِعٌ بَيْنَنَا فَأَتَاهُ رَجُلٌ فقال: يا أَبَا عبد الرحمن إِنَّ قَاصًّا عِنْدَ أَبْوَابِ كِنْدَةَ يَقُصُّ وَيَزْعُمُ أَنَّ آيَةَ الدُّخَانِ تجيء فَتَأْخُذُ بِأَنْفَاسِ الْكُفَّارِ وَيَأْخُذُ الْمُؤْمِنِينَ منه كَهَيْئَةِ الزُّكَامِ فقال عبد اللَّهِ وَجَلَسَ وهو غَضْبَانُ: (يا أَيَّهَا الناس اتَّقُوا اللَّهَ من عَلِمَ مِنْكُمْ شيئاً فَلْيَقُلْ بِمَا يَعْلَمُ وَمَنْ لم يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ الله أَعْلَمُ فإنه أَعْلَمُ لِأَحَدِكُمْ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ الله أَعْلَمُ فإن اللَّهَ عز وجل قال لِنَبِيِّهِ صلى الله عليه و سلم: قُلْ ما أَسْأَلُكُمْ عليه من أَجْرٍ وما أنا من الْمُتَكَلِّفِينَ.

Artinya: ” Masruq rahimahullah berkata: ” Kami pernah duduk bersama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau sambil tiduran di antara kami, lalu datang seorang laki-laki dan berkata: ” Wahai Abu Abdirrahman (panggilan untuk Abdullah bin Mas’ud-pent), ada seorang tukang dongeng di daerah Kindah (sebuah tempat di daerah Kufah-pent) bercerita dan mendakwakan tentang ayat di dalam surat Ad-Dukkan, (bahwa akan ada asap yang datang pada hari kiamat-pent) lalu mencabut jiwa-jiwa orang kafir dan mengambil orang-orang beriman seperti terjadinya flu terhadap mereka, lalu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu duduk dalam keadaan marah dan berkata: ” Wahai manusia, takutlah kepada Allah, barangsiapa di antara kalian yang mengetahui sesuatu maka katakanlah sesuatu yang dia ketahui saja dan barangsiapa yang tidak mengetahui maka katakanlah: ” Allah a’lam (Allah lebih mengetahui) “, karena sesungguhnya orang yang paling berilmu dari kalian adalah seseorang yang mengatakan terhadap apa yang dia tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: “Katakanlah (hai Muhammad): ” Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (QS. Shaad: 86″. HR. Bukhari, no. 4531 dan Muslim, no. 7244).


2 – عن ابن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قال: (إن الذي يُفْتِي النَّاسَ في كل ما يستفتي لَمَجْنُونٌ).

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sesungguhnya yang berfatwa kepada manusia di setiap apa yang ditanyakan kepadanya, adalah benar-benar orang gila”. (Riwayat shahih oleh ad-Darimi (1/171), ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 7923, al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-mutafaqqih (2/417) dari riwayat al-A’masy dari Abu Wa’il dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
3 – عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال: (يا بردها على الكبد!! أن تقول لما لا تعلم الله أعلم).

Artinya: “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sungguh sangat sejuk di dalam hati…ketika kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”. (Riwayat shahih oleh Ad-Darimi (1/175,176), Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (42/510) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih (2/362) dari riwayat ‘Atha’ ni as-saib dari Abul Bakhtari dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
4 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أنه سئل عن شيء فقال لا ادري ثم قال أتريدون أن تجعلوا ظهورنا جسوراً لكم في نار جهنم، أن تقولوا أفتانا ابن عمر بهذا). (صحيح)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: “ Laa adri (saya tidak tahu), kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini “. (Riwayat shahih oleh al-Fasawi di dalam kitab al-Ma’rifah wa at-Tarikh (1/hal. 266) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih Wa al-Mutafaqqih (2/hal: 364) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Ibnul Mubarak dari haiwah bin Syuraih dari ‘Uqbah bin Muslim).
5 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أن رجلا سأله عن مسألة؟ فقال: لا علم لي بها، فلمَّا أدبر الرجل قال ابن عمر: نِعْمَ ما قال ابن عمر!! سُئِلَ عَمَّا لا يعلم فقال: لا علم لي بها)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya oleh seseorang tentang sebuah permasalahan, beliau menjawab: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “, ketika orang tersebut berpaling, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Sungguh baik perkataan Ibnu Umar!!, ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka dia mengatakan: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “. (Riwayat shahih ad-Darimy (1/no. 179), al-Hakim (3/no. 6378) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma).
6 – عن خالد بن أسلم قال: خرجنا مع عبد الله بن عمر نمشي فلحقنا أعرابي، فقال: أنت عبد الله بن عمر؟ قال: نعم، قال: سألت عنك فدللت عليك فأخبرني: أترث العمة؟ فقال ابن عمر: لا أدري، فقال: أنت لا تدري ولا ندري، قال: نعم اذهب إلى العلماء بالمدينة فسلهم، فلمَّا أدبر؛ قَبَّل ابنُ عمرَ يديه فقال: نعمَّ ما قال أبو عبد الرحمن سُئل عمَّا لا يدري فقال: لا أدري).

Artinya: ” Khalid bin Aslam berkata: ” Kami pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, lalu ada seorang A’rabi (dari kampung Arab) menghampiri kami dan berkata: “Apakah engkau Abdullah bin Umar? “, beliau (Abdullah bin Umar) menjawab: ” Iya “, orang dari kampung Arab ini berkata: “Aku bertanya tentang engkau lalu aku diberi unjuk tentang keberadaan engkau, maka sekarang beritahukanlah kepadaku: “Apakah bibi mewarisi? “, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: ” Laa adri (saya tidak tahu) “, orang tersebut berkata: ” Kamu tidak mengetahuinya dan kitapun tidak mengetahuinya, (bagaimana ini?), Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Iya (demikian), pergilah kepada para ulama di kota Madinah, bertanyalah kepada mereka “, ketika hendak pergi orang tersebut mencium kedua tangan Abdullah bin Umar seraya berkata: ” Sungguh baik apa yang dikatakan Abu Abdirrahman (yaitu: Abdullah bin Umar) ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka beliau menjawab: ” Saya tidak tahu “. (Riwayat Hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra (4/no. 7021) dan disebutkan oleh Ibnu hajar di dalam kitab Taghligh at-Ta’liq (3/hal. 5) dari beberapa riwayat berasal dari Ahmad bin Syu’aib, beliau berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Bapakku, beliau mendapatkan riwayat dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Khalid bin Aslam dia berkata:…”)
7 – عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: (أدركت عشرين ومائة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فما كان منهم مُحَدِّثٌ إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الحديث، ولا مفت إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الفتيا). (حسن)

Artinya: “Abdurrahman bin Abi Layla berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang dari shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada seorangpun di antara mereka sebagai juru bicara kecuali menginginkan kawannya yang mencukupkan pembicaraan dan tidak seorang dari mereka sebagai pemberi fatwa kecuali menginginkan kawannya yang lain yang menyampaikan fatwa “. (Riwayat hasan di sebutkan oleh Ibnul Mubarak di dalam kitab Zuhud,no. 58, ad-Darimi (1/135), Ibnu Hibban di dalam kitab ats-Tsiqat (9/hal. 215) dan yang lainnya dari riwayat ‘Atha bin Saib dari Abdurrahman bi Abi layla).
8 – عن ابن حصين قال: (إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيُفْتِي في الْمَسْأَلَةِ وَلَوْ وَرَدَتْ على عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ لَجَمَعَ لها أَهْلَ بَدْرٍ).

Artinya: ” Ibnu Hushain rahimahullah berkata: ” Sungguh seorang dari mereka suka memberi fatwa dalam sebuah permasalahan, seandainya permasalahan tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu niscaya beliau mengumpulkan para pejuang peperangan Badr “. (Riwayat hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/no. 803) dan dari jalannya Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (38/hal. 410, 411) dari beberapa riwayat dari Abi Syihab al-Hannath dari Ibnu Hushain dengan riwayat ini).
9 – قال سفيان الثوري رحمه الله: (أدركت الفقهاء وهم يكرهون أن يجيبوا في المسائل والفتيا، ولا يفتون حتى لا يجدوا بُداً من أن يفتوا).

Artinya: ” Sufyan ats-Tsaury rahimahullah berkata: “Aku menemui para ahli fikih, mereka membenci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan permintaan fatwa dan mereka tidak berfatwa sampai tidak mendapatkan alasan kecuali harus berfatwa “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh al-Ajurry di dalam kitab Akhlaq al-ulama, no. 80, dari Ja’far bin Muhammad Ash Shundali, beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Muhammad bin al-Mutsanna, beliau berkata: “Aku telah mendengar Bisyr bin al-Harits berkata: “Aku telah mendengar al-Mua’fa bin Imran menyebutkan tentang Sufyan…”).
10 – وعن الأعمش قال: (ما سَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ – يَعْنِيِ النَّخَعِي- يقول قطُّ حَلالٌ ولا حَرَامٌ، إنَّما كان يقول: كانوا يكرهون، وكانوا يستحبُّون).

Artinya: ” al-A’masy rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah mendengar sekalipun Ibrahim an-Nakha-i mengatakan halal tidak haram, dia hanya mengatakan: ” Mereka membencinya dan mereka menganjurkannya “. (Sanadnya hasan diriwayat oleh ad-Darimi (1/184) beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Harun, dia mendapatkan riwayat dari Hafsh, dia mendapatkan riwayat dari al-A’masy).
11 – عن الشَّعْبِيِّ قال : (لَا أَدْرِي نِصْفُ الْعِلْمِ).

Artinya: “Asy-Sya’bi rahimahullah berkata: ” Perkataan “Aku tidak tahu ” adalah setengah ilmu “. (Riwayatnya shahih dikeluarkan oleh ad-Darimi (1/180) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/ no. 810) dari riwayat-riwayat dari Abu ‘Uwanah dari Mughirah dari Asy-Sya’bi).
12 – عن عبد الله بن يزيد بن هرمز قال: (يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَنْ يُوَرِّثَ جُلَسَاءَهُ من بَعْدِهِ لَا أَدْرِي حتى يَكُونَ ذلك أَصْلًا في أَيْدِيهِمْ يَفْزَعُونَ إلَيْهِ، فَإِذَا سُئِلَ أَحَدُهُم عَمَّا لا يَدْرِيِ قَاَلَ لا أَدْرِيِ).

Artinya: “Abdullah bin Yazid bin Hurmuz rahimahullah berkata: ” Semestinya bagi seorang yang berilmu untuk mewariskan kepada murid-muridnya setelahnya, perkataan ” Saya Tidak Tahu “, sampai itu menjadi prinsip di tangan-tangan mereka, mereka selalu condong kepadanya, jika salah seorang mereka ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui, dia mengatakan: ” Saya tidak Tahu “. (Riwayat shahih di keluarkan oleh al-Fasawi di dalam kitab al-ma’rifat wa at-Tarikh (1/hal. 367) dari beberapa jalan dari Ibnu Wahb dari Malik, beliau berkata: “Aku telah mendengar Abdullah bin Yazid bin Hurmuz berkata: “…”).
13- عن يَحْيَى بن سَعِيدٍ قال:سَأَلْتُ ابْنًا لِعَبْدِ اللَّهِ بن عُمَرَ عن مَسْأَلَةٍ فلم يَقُلْ فيها شيئا فَقِيلَ له إنَّا لَنُعْظِمُ أَنْ يَكُونَ مِثْلُكَ ابن إمَامِ هُدًى تُسْأَلُ عن أَمْرٍ ليس عِنْدَكَ فيه عِلْمٌ، فقال أَعْظَمُ وَاَللَّهِ من ذلك عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ من عَرَفَ اللَّهَ وَعِنْدَ من عَقَلَ عن اللَّهِ أَنْ أَقُولَ ما ليس لي بِهِ عِلْمٌ أو أُخْبِرَ عن غَيْرِ ثِقَةٍ)

Artinya: ” Yahya bin Sa’id rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada anak Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang sebuah permasalahan, beliau tidak menjawab sesuatupun dari pertanyaan tersebut, lalu ada yang berkata kepada beliau: ” Sungguh kami merasa sangat keheranan, orang sepertimu, anaknya seorang pemimpin (di dalam ilmu) yang memberikan petunjuk, ditanya sebuah perkara dan kamu tidak mempunyai ilmu di dalamnya, maka beliau (anak Abdullah bin Umar) menjawab: ” Demi Allah lebih heran lagi dari itu, di sisi Allah dan bagi orang yang mengenal Allah, bagi orang yang mengetahui akan Allah yaitu aku mengatakan sesuatu yang aku tidak memilki ilmu akannya atau aku diberitahukan dari orang yang tidak dipercaya “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh asy-Syafi’ie di dalam kitab al-Musnad (1/hal. 342) dan di dalam kitab al-Umm (6/104), ad-Darimi di dalam al-Musnad (1/no. 114) dari beberapa riwayat dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Yahya bin Sa’id).
14- وقال أحمد بن حنبل قال سمعت الشافعي قال سمعت مالكاً قال سمعت ابن عجلان قال: (إذا أغفل العالم لا أدري أصيبت مقاتله).

Artinya: “Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Aku telah mendengar asy-Syafi’ie berkata: “Aku telah mendengar Malik berkata: “Aku telah mendegar bin ‘Ajlan berkata: ” Jika seorang yang berilmu lalai dari perkataan ” Saya tiak tahu “, maka perkataannya terkena kesalahan “. (Riwayat shahih oleh al-Ajurry di dalam kitab akhlaq al-Ulama (no. 106), al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/812) dan dari jalannya Ibnu Shalah meriwayatkan di dalam kitab Adab al-Mufti dan al-Mustafti (1/177), beliau berkata: “Riwayat sanadnya agung dan jarang sekali karena di dalamnya terkumpul para imam yang tiga, sebagian meriwayatkan sebagian yang lain”).

Wallahu a’lam.
و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, و الحمد لله رب العلمين

Disusun oleh Abu Abdillah Ahmad Zainuddin
Kota Dammam, KSA
Selengkapnya...