Senin, 28 Februari 2011

Menyingkap Konspirasi Terselubung Syi'ah Iran!!!

Menyingkap Konspirasi Terselubung Syi’ah Iran
Sejak bergulirnya revolusi Iran dibawah kepemimpinan Imam Khomeini, Iran berubah menjadi sebuah Negara digdaya di kawasan Arab. Kekuatan militer mereka berkembang pesat. Pun, mereka kerap melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan-kebijakan barat yang diskriminatif, dimana hanya negara- negara yang bernyali yang bisa melakukan hal tersebut. Tak pernah gentar terhadap gertakan Negara adidaya AS seputar pengembangan teknologi nuklirnya.

Dan seringkali pula menunjukkan kepeduliannya atas negeri-negeri muslim yang lemah dan terjajah, walaupun hanya sekedar memberikan komentar pedas dalam forum-forum dunia. Dan begitu besar sikap permusuhannya terhadap Israel Yahudi yang telah banyak menelan jiwa kaum muslimin.

Sepak terjang Iran telah banyak menarik simpati kaum muslimin dunia. Pasca runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani, kaum muslimin telah kehilangan pelindungnya. Dan kini Iran muncul menentang kezhaliman dunia Barat (kafir) terhadap dunia Islam ditengah kebisuan dan ketidakberdayaan para pemimpin-pemimpin negeri Arab. Hmmm.. Apakah Iran akan menjadi bagian dari seri sejarah keperkasaan Islam?


Secara kasat mata memang seperti itulah adanya. Namun sejarah telah berkata lain tentang Iran yang berakidahkan Syiah Ghulat (Rafidhah). Lihatlah bagaimana syiah mempunyai andil atas terbunuhnya sahabat Rosululloh shalallohu alaihi wa sallam yang mulia, Ali bin Abi Thalib. Begitu juga pengkhianatan mereka atas Husein rodhiallohu ‘anhu. Dan tak akan hilang dari catatan sejarah bagaimana syiah berkonspirasi dengan pasukan Tar-Tar untuk mengkudeta kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Sejarah justru bertutur bahwa Syiah adalah musuh besar bagi kaum muslim sunni.

Lalu bagaimana dengan Syiah Iran saat ini? Tindak-tanduknya memang terlihat pro terhadap Islam, tapi wajib diketahui bahwa orang-orang syiah adalah orang-orang yang pendusta. Saat ini mereka berkata A, sedetik kemudian mereka berpaling akan berubah menjadi B. Hal ini karena mereka memasukkan dusta sebagai bagian dari akidah (taqiyah). (Al-kafi: 2/219)
Banyak fakta telah terungkap bahwa pada kenyataannya permusuhan Iran justru tertuju kepada Islam itu sendiri. Lihatlah di Ibukota Iran, Teheran. Silahkan Anda hitung berapa banyak Masjid-Masjid Sunni jika dibandingkan dengan Sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi) ?! Tidak ada satupun Masjid sunni berdiri disana, justru Sinagog bertebaran hingga lebih dari 45 buah! Padahal populasi muslim sunni di Iran adalah terbesar kedua setelah Syiah. Itu hanya secuil bukti ketimpangan amal perkataan dengan fakta lapangan. (sm)

Mungkin banyak juga yang belum tahu kalau Imam Khomeini memimpin Revolusi dari tempat pengasingannya di Perancis. Tapi pasti kaum muslimin tahu kalau Perancis dan AS adalah sekutu intim. Tentu ada permainan diantara mereka bertiga; Khomeini, Perancis dan AS (dalam hal ini CIA). Pun pada masa kekuasaannnya Khomeni, Iran telah bermesraan dengan AS dan Israel. Kita bisa ketahui hal ini dalam kasus skandal “Iran kontra”.

Dan mungkin tidak banyak orang tahu kalau yang memuluskan jalan Amerika untuk menyerang Irak yang mayoritas Sunni salahsatunya adalah Syiah Iran. Syiah Iran mengizinkan kapal induk Amerika memasuki wilayah perairan Teluk Persia Iran dan menjadikannya sebagai basis militer angkatan laut dan udara Amerika. Mereka juga memberikan bantuan berupa pemberian informasi intelijen ke AS. Seandainya memang Iran pro terhadap kaum muslimin tentunya hal itu tidak akan terjadi.

Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa Syiah memiliki kebencian yang mendalam kepada Sunni. Kita bisa dapati hal tersebut pada kitab-kitab rujukannya. Jika kita mau sedikit saja berusaha mencari informasi tentang hal ini, maka itu sudah cukup bagi kita untuk dapat menemukan sekian banyak bukti kekejaman syiah terhadap sunni. Mereka tega membantai 500 orang sunni yang berada dipenjara dengan cara merubuhkan penjara tersebut. Mereka tega membantai orang sunni hanya lantaran memiliki nama para sahabat yang mulia; Abu Bakar, Umar, dan Utsman . Mereka tega menggantung para ulama Sunni dengan tuduhan-tuduhan yang tak berbukti. Apakah seperti ini kelakuan pelindung umat?! Tidak, mereka hanya melindungi diri mereka sendiri sebagai syiah bukan sebagai bagian kaum muslimin sebagaimana yang kerap mereka gembar-gemborkan dihadapan publik.
Kini Iran tengah berusaha mengekspor revolusinya ke berbagai negara, terutama wilayah Arab. Di Libanon, Suriah dan Bahrain, Syiah telah menancapkan ideologinya. Mereka berusaha menguasai Negara-negara terusan Suez dengan maksud agar mempermudah suplai senjata kepada pejuang-pejuang mereka. Mereka telah masuk ke Eritrea yang miskin, dan sedang menuju ke gerbang laut merah yang mengontrol terusan Suez. Dari sini Iran dapat mengancam Yaman dan Arab Saudi dan meneruskan persenjataannya ke Sudan dan Mesir Setidaknya itulah yang dikatakan oleh mantan panglima perang dan Ahli Strategi Mesir, Hussam Sweilem. Masih menurut Hussam Sweilem, bahkan Syiah Iran memiliki departemen tersendiri di kementrian dalam negeri yang menangani program ekspor ideology syiah ke luar negeri. (erm)


Namun keberanian Syiah menentang hegemoni AS telah menawan sebagian kaum Sunni yang awam. Sungguh seandainya Syiah menjadi mayoritas di negeri ini, maka niscaya nasib kita akan serupa dengan nasib saudara-saudara kita di Iran. [hsm/syiahindonesia.com]

Selengkapnya...

Masih Layakkah Pemerintahan Indonesia Kita Ta'ati?

Masih Layakkah Pemerintahan Indonesia Kita Taati?

Oleh al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah


Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)


Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?

Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.

Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:

1) Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.

2) Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.

Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.

Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.

Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)

Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.

Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.

Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Wallahul Musta’an.

Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com
Selengkapnya...

Jumat, 25 Februari 2011

Belajarlah untuk Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zainuddin, Lc

Belajarlah untuk Mengatakan “Saya Tidak Tahu”
(Renungan bagi para penuntut ilmu, ustadz, kiyai, ahli fatwa, pembicara atas nama agama dan semisalnya)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
1 – عن مَسْرُوقٍ قال كنا عِنْدَ عبد اللَّهِ جُلُوسًا وهو مُضْطَجِعٌ بَيْنَنَا فَأَتَاهُ رَجُلٌ فقال: يا أَبَا عبد الرحمن إِنَّ قَاصًّا عِنْدَ أَبْوَابِ كِنْدَةَ يَقُصُّ وَيَزْعُمُ أَنَّ آيَةَ الدُّخَانِ تجيء فَتَأْخُذُ بِأَنْفَاسِ الْكُفَّارِ وَيَأْخُذُ الْمُؤْمِنِينَ منه كَهَيْئَةِ الزُّكَامِ فقال عبد اللَّهِ وَجَلَسَ وهو غَضْبَانُ: (يا أَيَّهَا الناس اتَّقُوا اللَّهَ من عَلِمَ مِنْكُمْ شيئاً فَلْيَقُلْ بِمَا يَعْلَمُ وَمَنْ لم يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ الله أَعْلَمُ فإنه أَعْلَمُ لِأَحَدِكُمْ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ الله أَعْلَمُ فإن اللَّهَ عز وجل قال لِنَبِيِّهِ صلى الله عليه و سلم: قُلْ ما أَسْأَلُكُمْ عليه من أَجْرٍ وما أنا من الْمُتَكَلِّفِينَ.

Artinya: ” Masruq rahimahullah berkata: ” Kami pernah duduk bersama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau sambil tiduran di antara kami, lalu datang seorang laki-laki dan berkata: ” Wahai Abu Abdirrahman (panggilan untuk Abdullah bin Mas’ud-pent), ada seorang tukang dongeng di daerah Kindah (sebuah tempat di daerah Kufah-pent) bercerita dan mendakwakan tentang ayat di dalam surat Ad-Dukkan, (bahwa akan ada asap yang datang pada hari kiamat-pent) lalu mencabut jiwa-jiwa orang kafir dan mengambil orang-orang beriman seperti terjadinya flu terhadap mereka, lalu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu duduk dalam keadaan marah dan berkata: ” Wahai manusia, takutlah kepada Allah, barangsiapa di antara kalian yang mengetahui sesuatu maka katakanlah sesuatu yang dia ketahui saja dan barangsiapa yang tidak mengetahui maka katakanlah: ” Allah a’lam (Allah lebih mengetahui) “, karena sesungguhnya orang yang paling berilmu dari kalian adalah seseorang yang mengatakan terhadap apa yang dia tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: “Katakanlah (hai Muhammad): ” Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (QS. Shaad: 86″. HR. Bukhari, no. 4531 dan Muslim, no. 7244).


2 – عن ابن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قال: (إن الذي يُفْتِي النَّاسَ في كل ما يستفتي لَمَجْنُونٌ).

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sesungguhnya yang berfatwa kepada manusia di setiap apa yang ditanyakan kepadanya, adalah benar-benar orang gila”. (Riwayat shahih oleh ad-Darimi (1/171), ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 7923, al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-mutafaqqih (2/417) dari riwayat al-A’masy dari Abu Wa’il dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
3 – عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال: (يا بردها على الكبد!! أن تقول لما لا تعلم الله أعلم).

Artinya: “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sungguh sangat sejuk di dalam hati…ketika kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”. (Riwayat shahih oleh Ad-Darimi (1/175,176), Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (42/510) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih (2/362) dari riwayat ‘Atha’ ni as-saib dari Abul Bakhtari dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
4 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أنه سئل عن شيء فقال لا ادري ثم قال أتريدون أن تجعلوا ظهورنا جسوراً لكم في نار جهنم، أن تقولوا أفتانا ابن عمر بهذا). (صحيح)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: “ Laa adri (saya tidak tahu), kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini “. (Riwayat shahih oleh al-Fasawi di dalam kitab al-Ma’rifah wa at-Tarikh (1/hal. 266) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih Wa al-Mutafaqqih (2/hal: 364) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Ibnul Mubarak dari haiwah bin Syuraih dari ‘Uqbah bin Muslim).
5 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أن رجلا سأله عن مسألة؟ فقال: لا علم لي بها، فلمَّا أدبر الرجل قال ابن عمر: نِعْمَ ما قال ابن عمر!! سُئِلَ عَمَّا لا يعلم فقال: لا علم لي بها)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya oleh seseorang tentang sebuah permasalahan, beliau menjawab: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “, ketika orang tersebut berpaling, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Sungguh baik perkataan Ibnu Umar!!, ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka dia mengatakan: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “. (Riwayat shahih ad-Darimy (1/no. 179), al-Hakim (3/no. 6378) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma).
6 – عن خالد بن أسلم قال: خرجنا مع عبد الله بن عمر نمشي فلحقنا أعرابي، فقال: أنت عبد الله بن عمر؟ قال: نعم، قال: سألت عنك فدللت عليك فأخبرني: أترث العمة؟ فقال ابن عمر: لا أدري، فقال: أنت لا تدري ولا ندري، قال: نعم اذهب إلى العلماء بالمدينة فسلهم، فلمَّا أدبر؛ قَبَّل ابنُ عمرَ يديه فقال: نعمَّ ما قال أبو عبد الرحمن سُئل عمَّا لا يدري فقال: لا أدري).

Artinya: ” Khalid bin Aslam berkata: ” Kami pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, lalu ada seorang A’rabi (dari kampung Arab) menghampiri kami dan berkata: “Apakah engkau Abdullah bin Umar? “, beliau (Abdullah bin Umar) menjawab: ” Iya “, orang dari kampung Arab ini berkata: “Aku bertanya tentang engkau lalu aku diberi unjuk tentang keberadaan engkau, maka sekarang beritahukanlah kepadaku: “Apakah bibi mewarisi? “, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: ” Laa adri (saya tidak tahu) “, orang tersebut berkata: ” Kamu tidak mengetahuinya dan kitapun tidak mengetahuinya, (bagaimana ini?), Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Iya (demikian), pergilah kepada para ulama di kota Madinah, bertanyalah kepada mereka “, ketika hendak pergi orang tersebut mencium kedua tangan Abdullah bin Umar seraya berkata: ” Sungguh baik apa yang dikatakan Abu Abdirrahman (yaitu: Abdullah bin Umar) ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka beliau menjawab: ” Saya tidak tahu “. (Riwayat Hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra (4/no. 7021) dan disebutkan oleh Ibnu hajar di dalam kitab Taghligh at-Ta’liq (3/hal. 5) dari beberapa riwayat berasal dari Ahmad bin Syu’aib, beliau berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Bapakku, beliau mendapatkan riwayat dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Khalid bin Aslam dia berkata:…”)
7 – عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: (أدركت عشرين ومائة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فما كان منهم مُحَدِّثٌ إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الحديث، ولا مفت إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الفتيا). (حسن)

Artinya: “Abdurrahman bin Abi Layla berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang dari shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada seorangpun di antara mereka sebagai juru bicara kecuali menginginkan kawannya yang mencukupkan pembicaraan dan tidak seorang dari mereka sebagai pemberi fatwa kecuali menginginkan kawannya yang lain yang menyampaikan fatwa “. (Riwayat hasan di sebutkan oleh Ibnul Mubarak di dalam kitab Zuhud,no. 58, ad-Darimi (1/135), Ibnu Hibban di dalam kitab ats-Tsiqat (9/hal. 215) dan yang lainnya dari riwayat ‘Atha bin Saib dari Abdurrahman bi Abi layla).
8 – عن ابن حصين قال: (إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيُفْتِي في الْمَسْأَلَةِ وَلَوْ وَرَدَتْ على عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ لَجَمَعَ لها أَهْلَ بَدْرٍ).

Artinya: ” Ibnu Hushain rahimahullah berkata: ” Sungguh seorang dari mereka suka memberi fatwa dalam sebuah permasalahan, seandainya permasalahan tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu niscaya beliau mengumpulkan para pejuang peperangan Badr “. (Riwayat hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/no. 803) dan dari jalannya Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (38/hal. 410, 411) dari beberapa riwayat dari Abi Syihab al-Hannath dari Ibnu Hushain dengan riwayat ini).
9 – قال سفيان الثوري رحمه الله: (أدركت الفقهاء وهم يكرهون أن يجيبوا في المسائل والفتيا، ولا يفتون حتى لا يجدوا بُداً من أن يفتوا).

Artinya: ” Sufyan ats-Tsaury rahimahullah berkata: “Aku menemui para ahli fikih, mereka membenci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan permintaan fatwa dan mereka tidak berfatwa sampai tidak mendapatkan alasan kecuali harus berfatwa “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh al-Ajurry di dalam kitab Akhlaq al-ulama, no. 80, dari Ja’far bin Muhammad Ash Shundali, beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Muhammad bin al-Mutsanna, beliau berkata: “Aku telah mendengar Bisyr bin al-Harits berkata: “Aku telah mendengar al-Mua’fa bin Imran menyebutkan tentang Sufyan…”).
10 – وعن الأعمش قال: (ما سَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ – يَعْنِيِ النَّخَعِي- يقول قطُّ حَلالٌ ولا حَرَامٌ، إنَّما كان يقول: كانوا يكرهون، وكانوا يستحبُّون).

Artinya: ” al-A’masy rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah mendengar sekalipun Ibrahim an-Nakha-i mengatakan halal tidak haram, dia hanya mengatakan: ” Mereka membencinya dan mereka menganjurkannya “. (Sanadnya hasan diriwayat oleh ad-Darimi (1/184) beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Harun, dia mendapatkan riwayat dari Hafsh, dia mendapatkan riwayat dari al-A’masy).
11 – عن الشَّعْبِيِّ قال : (لَا أَدْرِي نِصْفُ الْعِلْمِ).

Artinya: “Asy-Sya’bi rahimahullah berkata: ” Perkataan “Aku tidak tahu ” adalah setengah ilmu “. (Riwayatnya shahih dikeluarkan oleh ad-Darimi (1/180) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/ no. 810) dari riwayat-riwayat dari Abu ‘Uwanah dari Mughirah dari Asy-Sya’bi).
12 – عن عبد الله بن يزيد بن هرمز قال: (يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَنْ يُوَرِّثَ جُلَسَاءَهُ من بَعْدِهِ لَا أَدْرِي حتى يَكُونَ ذلك أَصْلًا في أَيْدِيهِمْ يَفْزَعُونَ إلَيْهِ، فَإِذَا سُئِلَ أَحَدُهُم عَمَّا لا يَدْرِيِ قَاَلَ لا أَدْرِيِ).

Artinya: “Abdullah bin Yazid bin Hurmuz rahimahullah berkata: ” Semestinya bagi seorang yang berilmu untuk mewariskan kepada murid-muridnya setelahnya, perkataan ” Saya Tidak Tahu “, sampai itu menjadi prinsip di tangan-tangan mereka, mereka selalu condong kepadanya, jika salah seorang mereka ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui, dia mengatakan: ” Saya tidak Tahu “. (Riwayat shahih di keluarkan oleh al-Fasawi di dalam kitab al-ma’rifat wa at-Tarikh (1/hal. 367) dari beberapa jalan dari Ibnu Wahb dari Malik, beliau berkata: “Aku telah mendengar Abdullah bin Yazid bin Hurmuz berkata: “…”).
13- عن يَحْيَى بن سَعِيدٍ قال:سَأَلْتُ ابْنًا لِعَبْدِ اللَّهِ بن عُمَرَ عن مَسْأَلَةٍ فلم يَقُلْ فيها شيئا فَقِيلَ له إنَّا لَنُعْظِمُ أَنْ يَكُونَ مِثْلُكَ ابن إمَامِ هُدًى تُسْأَلُ عن أَمْرٍ ليس عِنْدَكَ فيه عِلْمٌ، فقال أَعْظَمُ وَاَللَّهِ من ذلك عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ من عَرَفَ اللَّهَ وَعِنْدَ من عَقَلَ عن اللَّهِ أَنْ أَقُولَ ما ليس لي بِهِ عِلْمٌ أو أُخْبِرَ عن غَيْرِ ثِقَةٍ)

Artinya: ” Yahya bin Sa’id rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada anak Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang sebuah permasalahan, beliau tidak menjawab sesuatupun dari pertanyaan tersebut, lalu ada yang berkata kepada beliau: ” Sungguh kami merasa sangat keheranan, orang sepertimu, anaknya seorang pemimpin (di dalam ilmu) yang memberikan petunjuk, ditanya sebuah perkara dan kamu tidak mempunyai ilmu di dalamnya, maka beliau (anak Abdullah bin Umar) menjawab: ” Demi Allah lebih heran lagi dari itu, di sisi Allah dan bagi orang yang mengenal Allah, bagi orang yang mengetahui akan Allah yaitu aku mengatakan sesuatu yang aku tidak memilki ilmu akannya atau aku diberitahukan dari orang yang tidak dipercaya “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh asy-Syafi’ie di dalam kitab al-Musnad (1/hal. 342) dan di dalam kitab al-Umm (6/104), ad-Darimi di dalam al-Musnad (1/no. 114) dari beberapa riwayat dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Yahya bin Sa’id).
14- وقال أحمد بن حنبل قال سمعت الشافعي قال سمعت مالكاً قال سمعت ابن عجلان قال: (إذا أغفل العالم لا أدري أصيبت مقاتله).

Artinya: “Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Aku telah mendengar asy-Syafi’ie berkata: “Aku telah mendengar Malik berkata: “Aku telah mendegar bin ‘Ajlan berkata: ” Jika seorang yang berilmu lalai dari perkataan ” Saya tiak tahu “, maka perkataannya terkena kesalahan “. (Riwayat shahih oleh al-Ajurry di dalam kitab akhlaq al-Ulama (no. 106), al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/812) dan dari jalannya Ibnu Shalah meriwayatkan di dalam kitab Adab al-Mufti dan al-Mustafti (1/177), beliau berkata: “Riwayat sanadnya agung dan jarang sekali karena di dalamnya terkumpul para imam yang tiga, sebagian meriwayatkan sebagian yang lain”).

Wallahu a’lam.
و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, و الحمد لله رب العلمين

Disusun oleh Abu Abdillah Ahmad Zainuddin
Kota Dammam, KSA
Selengkapnya...

Contoh Program Sederhana



Public Class Form1
Private Sub CheckBox1_CheckedChanged(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles CheckBox1.CheckedChanged
If CheckBox1.Checked Then
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, TextBox2.Font.Style Or FontStyle.Bold)
Else
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, TextBox2.Font.Style And Not FontStyle.Bold)
End If
End Sub

Private Sub CheckBox3_CheckedChanged(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles CheckBox3.CheckedChanged
If CheckBox1.Checked Then
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, Label2.Font.Style Or FontStyle.Italic)
Else
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, TextBox2.Font.Style And Not FontStyle.Italic)
End If
End Sub

Private Sub CheckBox2_CheckedChanged(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles CheckBox2.CheckedChanged
If CheckBox1.Checked Then
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, TextBox2.Font.Style Or FontStyle.Underline)
Else
TextBox2.Font = New Font(TextBox2.Font, TextBox2.Font.Style And Not FontStyle.Underline)
End If
End Sub

Private Sub Button1_Click(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles Button1.Click
TextBox2.Text = TextBox1.Text
End Sub

Private Sub Button2_Click(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles Button2.Click
End
End Sub

End Class


Public Class Form1

Private Sub Button1_Click(ByVal sender As System.Object, ByVal e As System.EventArgs) Handles Button1.Click
If RadioButton1.Checked Then
TextBox3.Text = Val(TextBox1.Text) + Val(TextBox2.Text)
End If
If RadioButton2.Checked Then
TextBox3.Text = Val(TextBox1.Text) - Val(TextBox2.Text)
End If
If RadioButton3.Checked Then
TextBox3.Text = Val(TextBox1.Text) * Val(TextBox2.Text)
End If
If RadioButton4.Checked Then
TextBox3.Text = Val(TextBox1.Text) / Val(TextBox2.Text)
End If

End Sub

End Class
Selengkapnya...

Objek, Properties, dan Event pada Visual Basic

Cara belajar penggunaan Objek.
Setiap objek dalam Visual Basic memiliki properti, metode, dan event. Di
dalam Visual Basic, sebuah data objek ( Setting atau atributnya ) dihubungkan
dalam sebuah properti, dan beberapa prosedur yang dioperasikan dalam objek
dihubungkan dalam sebuah metode. Sedangkan event adalah sebuah pengaturan aksi yang ada pada sebuah objek, misalnya mengklik sebuah mouse atau menekan tombol keyboard kita dapat menuliskan kode untuk merespon event yang ada. Kita juga bisa
menentukan karakteristik objek dengan mengubah propertinya. Sebuah objek juga memiliki metode. Metode merupakan bagian objek seperti halnya dengan properti. Sebenarnya, Metode adalah aksi yang akan dilakukan, saat atribut kita atur atau kita panggil.

Cara belajar penggunaan properties.
Properties merupakan suatu bagian / rangkaian penyusun dari sebuah objek, setiap penggunaan objek pasti selalu diikuti dengan propertiesnya. Kita dapat mempelajari cara penggunaan properties dengan dengan beberapa cara. Kita dapat mengisi / mengetikan secara langsung properties yang kita inginkan, namun ada juga properties yang telah menyediakan opsi – opsi atau pilihan yang berbentuk list box sehingga kita hanya tinggal memilih diantara opsi –opsi tersebut. Kita dapat melakukan percobaan terhadap tiap – tiap properties lalu kita amati pula perubahan yang terjadi pada objeknya. Tidak setiap objek memiliki properties yang sama, ad beberapa properties yang tidak dimiliki oleh objek – objek yang lainnya.

Cara Belajar Event
Event adalah suatu kejadian terhadap objek pada saat tertentu. Seperti dengan penekanan tombol keyboard, mengklik objek dan lain sebagainya. Diantara jenis – jenis event adalah event untuk mouse (contoh: click, double click, dll), Event untuk keyboard (KeyUp, KeyDown), event untuk peubahan. Kita dapat mngetikkan kode dari event yang kita inginkan pada window kode editornya.


Rangkuman Pertemuan II (18/02/2011)
 Variabel Public Adalah variabel variabel dimana nama variabelnya dapat diakses atau dibaca dalam semua form atau program, namun masih dalam satu project.
 Variabel General Adalah variabel yang dapat digunakan hanya dalam form atau kelas yang sama.
 Variabel Lokal Adalah variabel yang hanya dapat digunakan dalam ruang lingkup tempatnya berada.

Selengkapnya...

Kamis, 17 Februari 2011

Sejarah Perkembangan VB

Bahasa pemrograman Visual Basic, dikembangkan oleh Microsoft sejak tahun 1991, merupakan pengembangan dari pendahulunya yaitu bahasa pemrograman BASIC (Beginner’s All-purpose Symbolic Instruction Code) yang dikembangkan pada era 1950-an. Visual Basic merupakan salah satu Development Tool adalah alat bantu dalam membangun dan mengembangkan program aplikasi komputer dengan desain form secara visual dan adanya kemampuan untuk menggunakan komponen-komponen ActiveX yang dibuat yang disediakan oleh Microsoft Visual Basic ataupun pihak lain.
Visual Basic yang pertama adalah Visal Basic 1.0 yang dikenalkan pada tahun 1991, pendekatan yg dilakukan untuk menghubungkan bahasa pemrograman dengan GUI berasal dari prototype yg dikembang oleh “Alan Cooper” yg di sebut TRIPOD. Kemudian Microsoft mengontrak copper dan asosiasinya utk mengembangkan tripod agar dapat digunakan di windows 3.0 dibawah nama kode Ruby.

Perjalanan Bahasa Pemrograman Visual Basic dari awal hingga sekarang ini, sebagai berikut:
1. Visual Basic 1.0 (May 1991) di rilis untuk windows pada Comdex/Windows Wordltrade yg dipertunjukan di Atlanta , Georgia.
2. Visual Basic 1.0 untuk DOS dirilis pada bulan September 1992. Bahasa ini tidak kompatibel dengan Visual Basic For Windows. VB 1.0 for DOS ini pada kenyataaanya merupakan versi kelanjutan dari compiler BASIC, QuickBasic dan BASIC Professional Development System.
3. Visual Basic 2.0 dirilis pada November 1992, Cakupan pemrogramannya cukup mudah untuk digunakan dan kecepatannya juga telah di modifikasi. Khususnya pada Form yg menjadikan object dapat dibuat secara seketika, serta konsep dasar dari Class modul yg berikutnya di implementasikan pada VB 4.
4. Visual Basic 3.0 , dirilis pada musim panas 1993 dan dibagi menjadi versi standard dan professional. VB 3 memasukan Versi 1.1 dari Microsoft Jet Database Engine yg dapat membaca serta menulis database Jet (atau Access) 1.x
5. Visual Basic 4.0 (Agustus 1995) merupakan versi pertama yg dapat membuat windows program 32 bit sebaik versi 16 bit nya. VB 4 juga memperkenalkan kemampuan untuk menulis non-GUI class pada Visual Basic.
6. Visual Basic 5.0 (February 1997), Microsoft merilis secara eksklusif Visual basic untuk versi windows 32 bit . Programmer yg menulis programnya pada versi 16 bit dapat dengan mudah melakukan import porgramnya dari VB4 ke VB5. dan juga sebaliknya, program VB5 dapat diimport menjadi VB4. VB 5 memperkenalakan kemampuan untuk membuat User Control.
7. Visual Basic 6.0 (pertengahan 1999 memperbaiki beberapa cakupan, temasuk kemapuannya untuk membuat Aplikasi Web-based . Visual Basic 6 di jadwalkan akan memasuki Microsoft “fasa non Supported” dimulai pada maret 2008.
8. Visual Basic .NET (VB 7), dirilis pada tahun 2002, Beberapa yang mencoba pada versi pertama .NET ini mengemukakan bahwa bahasa ini sangat powerful tapi bahasa yg digunakan sangat berbeda dengan bahasa sebelumnya, dengan kekurangan diberbagai area, termasuk runtime-nya yang 10 kali lebih besar dari paket runtime VB6 serta peningkatan penggunan memory.
9. Visual Basic .NET 2003 (VB 7.1) , dirilis dengan menggunakan NET framework versi 1.1.
10. Visual Basic 2005 (VB 8.0) , merupakan iterasi selanjutnya dari Visual Basic .NET. dan Microsoft memutuskan untuk menghilangkan kata kata .NET pada judulnya. Pada Rilis ini , Microsoft memasukan bebrapa fitur baru, diantaranya : a) Edit and Continue , mungkin inilah kekurangan fitur terbesar dari VB .NET . pada VB 2005 ini kita diperbolehkan melakukan perubahan kode pada saat program sedang dijalankan. b) Perbaikan pada Konversi dari VB ke VB NET12Visual Basic .NET 2003 (VB 7.1) , dirilis dengan menggunakan NET framework versi 1.1.
11. IsNot Patent, merupakan salah satu fitur dari Visual Basic 2005 merupakan konversi If Not X Is Y menjadi If X IsNot Y.
12. Visual Basic 2005 Express , merupkan bagian dari Product Visual Studio. Microsoft membuat Visual Studio 2005 Express edition untuk pemula dan yg gemar dengan VB, salah satu produknya adalah Visual Basic 2005 Express yg merupakan produk gratis dari Microsoft.
13. Visual Basic “Orcas” (VB 9.0) , dirilis pada tahun 2007 dan dibangung diatas .NET 3.5. Pada rilis ini , Microsoft menambahkan beberapa fitur , diantaranya : a) True Tenary operator , yaitu fungsi If(boolean,value, value) yg digunakan untuk menggantikan fungsi IIF; b) LINQ Support; c) Ekspresi Lambda; d) XML Literals; e) Nullable types; f) Type Inferenc.
14. Visual Basic ‘VBx’ (VB 10.0) , Visual Basic 10, yang juga dkenal dengan nama VBx, akan menawarkan dukungan untuk Dynamic Language Runtime. VB 10 direncanakan akan menjadi bagian dari SilverLight 1.1.
Selengkapnya...

Tools VB

1. Picture box => Menampilkan Gambar Diam Maupun Gambar Bergerak Dari Sumber Lain.
2. Label => Kontrol Yang Bisa Digunakan Untuk Menampilkan Teks Yang Tidak Bisa Diubah Oleh User.
3. Text box => Membuat Area Teks Dimana Teksnya Bisa Diubah Oleh User atau Area Penulisan User.
4. Command button => Membuat Sebuah Tombol Pelaksana Perintah.
5. Check box => Membuat Kotak Check Yang Mudah Pemakaiannya.
6. Option button => Pemilihan Dua Keadaan Dari Banyak Pilihan, Namun Hanya Satu Pilihan Saja Yg Bisa Diaktifkan Pada Satu Saat.
7. Combo box => Menghasilkan Kontrol Merupakan Kombonasi Dari List Box Dan Text Box, Sehingga User Bisa Memasukkan Pilihan Melalui Daftar Atau Menuliskannya.
8. List box =>
List Box memiliki fungsi yang hamper sama dengan combo box, yaitu menampilkan daftar. Perbedaannya, pada combo box hanya satu pilihan yang terlihat sebelum combo box diklik, sedangkan pada list box dapat menampilkan beberapa pilihan.
9. Hscroll bar => Untuk Penggulungan Dengan Langkah Lebar Dengan Indikasi Posisi Pemilihan Dlm Posisi Horizontal.
10. Vscroll bar => Untuk Penggulungan Dengan Langkah Lebar Mengindikasikan Posisi Pemilihannya Vertical.
11. Timer => Untuk Penghitung Waktu Event Dalam Interval Yang Ditentukan.
12. Drive list box => Untuk Menampilkan Disk Drive Yang Di Miliki Komputer.
13. Dir list box => Menampilkan Direktori Dan Path.
14. File list box => Menampilkan Sebuah Daftar File.
15. Shape => Untuk Memasang Kontrol Yang Mampu Menghasilkan Sarana Agar Peamakia Bisa Menggambar Berbagai Bentuk.
17. Line => Untuk Menggmbar Garis Dengan Berbagai Variasinya.
18. Image => Untuk Menampilkan Gambar Bitmap, Icon Ataupun Metafile Pada Form.
19. Data => Menyediakan Sarana Akses Data Dalam Suatu Database.
Selengkapnya...

Jumat, 11 Februari 2011

PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI'AT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman yang maknanya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak".

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".

Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

...فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]

Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?

Keempat.: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]

Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

"Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]

Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

" … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian" [an-Nisâ'/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna: Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu 'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

"Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]

Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]

Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

"Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at"[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1). Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]

4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]

“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya...”

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu.
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu.
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.
Selengkapnya...

Mengapa Harus Salafi?

Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah ditanya; “Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam?”

Jawaban:

Sesungguhnya kata “as-Salaf” sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syari’at Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari’atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radhiyallahu ‘anha (yang artinya):

“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik ‘as-Salaf’ bagimu adalah Aku.”

Dalam kenyataannya di kalangan para Ulama sering menggunakan istilah “as-Salaf.” Satu contoh penggunaan “as-Salaf” yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid’ah:

“Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf.”

“Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf.”

Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istilah Salaf karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata; “Seorang Muslim tidak boleh mengatakan; ‘Saya seorang Salafi.’” Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang Muslim tidak boleh mengikuti Salafush-Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun akhlak.

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafush-Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya.” (Hadits shahih riwayat Bukhari, Muslim)

Maka tidak boleh seorang Muslim berlepas diri (bara’) dari penyandaran kepada Salafush-Shalih. Sedangkan kalau seorang Muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafush-Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmu pun me-nisbat-kannya kepada kekafiran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih? Bisa jadi ia seorang Asy’ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy’ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa pe-nisbat-an-pe-nisbat-an kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari?

Adapun orang yang ber-intisab kepada Salafush-Shalih, dia menyandarkan diri kepada ishmah (ke-maksum-an/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiyah1 yaitu komitmennya dalam memegang Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus-Shalih maka yakinlah dia berada (di)atas petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju “Firqah Najiyah.” Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang me-nisbat-kan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara:

Pertama:

Me-nisbat-kan diri kepada pribadi yang tidak maksum.

Kedua:

Me-nisbat-kan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.

Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ishmah para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat setelahnya.

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap al-Kitab dan as-Sunnah selaras dengan manhaj para Sahabat, sehingga tetap dalam naungan ishmah (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari al-Kitab dan as-Sunnah.

Mengapa sandaran terhadap al-Kitab dan as-Sunnah belum cukup?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar’i dan fenomena Jama’ah Islamiyah yang ada.

Berkenaan dengan sebab pertama:

Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta’ati hal lain disamping al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya):

“Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil-Amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa’ [4] : 59]

Jika ada Waliyul-Amri yang dibai’at kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap al-Kitab dan as-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu:

“Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada al-Khalik.” (Lihat as-Shahihah nomor 179)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ [4] : 115)

Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan “sabilil-mukminin” (jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfaat yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita terhadap al-Kitab dan as-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi Sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyah-nya.

Sesungguhnya dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9] : 119)

Siapa saja yang memisahkan antara al-Kitab dan as-Sunnah dengan as-Salafush-Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

Adapun berkenaan dengan sebab kedua:

Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum Mukminin yang telah disinggung ayat diatas dan dipertegas oleh beberapa hadits.

Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendeskripsikannya sebagai:

“Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para Sahabatku hari ini.”

Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum Mukminin. Diantara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat:

“Pegangilah Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ir-Rasyidin sepeninggalku.”

Jadi disana ada dua Sunnah yang harus diikuti: Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafa’ur-Rasyidin.

Menjadi keharusan atas kita -generasi muta’akhirin- untuk merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan jalan kaum Mukminin. Kita tidak boleh berkata; “Kami mandiri dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah tanpa petunjuk Salaf as-Shalih.”

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan bathil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan; “Saya seorang Muslim (saja) atau bermadzhab Islam.” Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syi’ah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka?

Kalau kita berkata; “Saya seorang Muslim yang memegangi al-Kitab dan as-Sunnah,” ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap keduanya.

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan; “Saya seorang Muslim yang konsisten dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta bermanhaj Salaf,” atau disingkat; “Saya Salafi.”

Kita harus yakin, bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.

Kita paham para Sahabat tidak ber-ta’ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, ‘Utsmani atau ‘Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang diantara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba’ kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai Muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka? Padahal sebutan itu tidak syar’i dan salah!?

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan (yang) lurus. Wallahu al-Musta’in.

Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta’ashub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti manhaj Salafush-Shalih dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu Waliyyut-Taufiq.
Selengkapnya...

Dimana Alloh?

Suatu ketika Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan Syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini:

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah bertanya: “Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy?

Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan Syaikh al-Albani, dan Syaikh-pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan: “Kami berharap demikian.”

Syaikh berkata kepadanya: “Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!”

Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, Syaikh berkata: “Cukuplah bagiku jawabanmu ini!”


Prinsip Tasfiyyah (pemurnian) dan Tarbiyyah (mendidik) mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama’ah-jama’ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak-mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari aqidah tersebut), baik dalam akhlak, perilaku maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d : 11)

Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka.” (QS. al-Anfaal : 62-63)

Sedangkah hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas aqidah Salafush-Shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firman-Nya kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah atas mereka, (yang artinya):

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu.” (QS. al-Baqarah : 137)

Bagaimanapun yang telah diupayakan oleh para “buih politik” itu, berupa pengumpulan (massa pendukung), namun sesungguhnya permulaan aqidah mereka mengarah kepada suatu sikap “Tamyi” (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan aqidah yang dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling membid’ahkan.

Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati bercerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi (yang artinya):

“Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah.” (QS. al-Hasyr : 14)

Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasan yang baik bagi hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya saja. Tanpa menyekutukan-Nya, Allah berfirman (yang artinya):

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku.” (QS. an-Nur : 55)

Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang Muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):

“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 74)

Adapun pembatasan Syaikh al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa’ merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara Ahlus-Sunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah aqidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Aqidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.

Ujian itu dilakukan oleh Syaikh al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada diatas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para Salafush-Shalih, meskipun dibenci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.

Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata (yang artinya):

“Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan (kepadanya): ‘Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?‘ Beliau berkata: ‘Panggillah ia!‘ Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya: ‘Dimana Allah?‘ Wanita itu menjawab: ‘Di atas.‘ Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah aku?‘ Ia menjawab: ‘Engkau adalah utusan Allah!‘ Beliau berkata: ‘Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman.‘” (Ahmad V/447, Muslim nomor 537)

Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah merahmati Anda), yang mana Rasulullah berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarkat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat Muslimin yang pertama.

Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas aqidah “ainallah (dimana Allah)?”

Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokkan oleh para pengasuh jama’ah-jama’ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah Azza wa Jalla, meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla?

Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah?

Artinya: “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)

Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya (yang artinya):

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raaf : 96)

Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah. Adapun perhatian terhadap “sifat istiwa’ Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya” merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak menusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.

Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan “hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla” yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengakhirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah/ajakan para Nabi ‘alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka (yang artinya):

“Beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia.” (QS. al-A’raaf : 59)

Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah!!!

(Diterjemahkan dari kitab Sittu Durror karya Syaikh Abdul-Malik al-Jazairi, oleh Abu Abdillah)
Selengkapnya...