Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Sikap Kalangan Tasawuf Dalam Ibadah Dan Agama
Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :
1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.
Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.
Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
إِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.
Al Allamah Ibnu Qoyyim berkata :
وَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ
مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ
وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ
مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ
Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya
Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub
Dan di atas keduanya rotasi ibadah berputar.
Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.
Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq [9], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah [10] dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [11], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.
Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [12]
Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ [آل عمرن: 31]
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)
Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.
Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.
2. Kalangan sufi pada umumnya tidak menem-puh cara keberagamaan yang benar, yaitu beribadah dengan tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka justru merujuk kepada selera mereka atau apa yang diajarkan guru-guru mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah. Kadang-kadang mereka berdalil dengan kisah-kisah, mimpi-mimpi atau hadits-hadits maudhu’ [13] untuk mendukung pendapat mereka ketimbang berdalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun di atasnya “agama” sufi.
Sebagaimana diketahui bahwa sebuah ibadah tidak dikatakan ibadah yang shahih (benar) kecuali jika dia dibangun di atas landasan Al Quran dan As Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Mereka –orang-orang Sufi- berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada rabb mereka seba-gaimana berpegang teguhnya orang-orang nashara terhadap ucapan-ucapan mutasyabih (samar) atau hikayat-hikayat yang tidak diketahui sejauh mana kebenaran yang menceritakannya, seandainyapun benar dia bukanlah orang yang ma’shum. Maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka……”
Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah dengan tidak kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah Ta’ala :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
[الأنعام: 153]
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya…”. (Al An’am 153)
Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan menceraiberaikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus (sirathal mustaqim). Masalah ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah (kelompok) memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqoh yang lain. Setiap firqah memiliki Syaikh (guru) yang mereka namakan syek tariqah (guru tarekat) yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan menjauh dari siratalmustaqim (jalan yang lurus). Dan Syaikh ini yang mereka sebut Syaikh tariqah memiliki wewenang mutlak untuk menentukan sedang mereka (murid-muridnya) hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantahnya sama sekali . Bahkan hingga mereka berkata:
الْمُرِيْدُ مَعَ شَيْخِهِ يَكُوْنُ كَالْمَيِّتِ مَعَ غَاسِلِهِ
“Al-Murid [14] dihadapan Syaikhnya bagaikan mayat di-hadapan orang yang memandikannya”.
Kadang-kadang sebagian Syaikh tersebut mengaku bahwa apa yang diperintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah.
3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada zikir-zikir atau wirid-wirid yang telah ditetapkan guru-guru mereka.
Mereka menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Quran. Mereka menamakannya sebagai zikrul khashshah (zikir untuk orang-orang khusus). Sedangkan zikir yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan zikirulammah (zikir untuk orang awam). Ucapan لا إله إلا الله bagi mereka adalah zikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz: الله, dan zikir khassatul khashshah (yang lebih khusus lagi) adalah :هو (Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapan:
لا إله إلا الله sebagai zikirulammah dan zikirulkhassah-nya adalah kata tunggal (الله), dan zikir yang lebih khususnya lagi (هو) yaitu isim dhomir (kata ganti) maka dia sesat dan menyesatkan. Jika mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ[
الأنعام : 91]
“Katakan: “Allah” (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya” (Al An’am: 91)
Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya. Karena kata (الله) disebut dalam ayat tersebut sebagai perintah atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala :
مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوْسَى نُوْراً وَهُدىً لِّلنَّاسِ
[الأنعام: 91]
“Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”
hingga firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ
“Katakanlah: Allah”
maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Quran yang dibawa Musa alaihissalam.
Kata Allah merupakan mubtada’ (yang diterangkan) dan khobar-nya (yang menerangkan) adalah kalimat pertanyaan tersebut. Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya: Siapa tetanggamu ?, maka dia menjawab: Zaid. Sedangkan kata tunggal baik tampak ataupun kata gantinya tidaklah dikatakan kalimat sempurna, bukan juga susunan yang dipahami (jumlah mufidah), tidak juga berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama pendahulu yang me-nyebutkannya, tidak juga diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga memberikan ma’rifah (pemahaman) yang bermanfaat dalam hati atau keadaan. Dan ketika diberikan gambaran secara mutlak, maka dia tidak mengandung hukum nafy (peniadaan) dan itsbat (penetapan) [15] hingga sebagian mereka yang mengamalkan dengan kontinyu zikir dengan kata tunggal (الله) atau dengan: (هو) terjerumus dalam sebagian pemahamam atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) atau semacam kepercayaan manunggaling (kepercayaan bersatunya Allah dengan makhluknya). Sedangkan apa yang disinyalir bahwa sebagian Syaikh berkata :
“Saya takut mati dalam keadaan antara nafy (meniadakan tuhan) dan itsbat (menetapkan Allah)”.
Sesungguhnya kondisi seperti itu tidak akan ditemui oleh yang mengucapkannya. Tidak diragukan bahwa dugaan tersebut terdapat kekeliruan, karena jika seseorang mati dalam kondisi tersebut (antara meniadakan Tuhan dan menetapkan Tuhan) maka dia mati dalam keadaan apa yang dia niatkan atau yang dia maksud, karena amal itu tergantung niatnya. Apalagi ada riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentalqinkan orang yang sedang sekarat dengan ucapan : لا إله إلا الله, seraya bersabda :
» مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ «
“Siapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, dia masuk syurga”
Seandainya apa yang dia sebutkan terlarang, niscaya orang yang sedang sekarat tidak di-talqinkan dengan kalimat yang dikhawatirkan dia meninggal dalam keadaan tidak terpuji. Karena itu zikir dengan kata tunggal (الله) atau kata ganti (هو) merupakan sesuatu yang jauh meninggalkan sunnah dan termasuk kepada bid’ah serta lebih dekat kepada penyesatan setan. Karena siapa yang mengatakan :
يَا هُوَ يَا هُوَ atau هُوَ هُوَ
atau yang semacamnya, maka tempat kembali dari kata ganti tesebut tidak lain kecuali apa yang digambarkan hatinya, sedangkan hati bisa jadi mendapat petunjuk atau sesat. Pengarang kitab “Al-Fushush” telah menyusun suatu kitab yang diberi nama : “الهُو” (Sang Dia).
Sebagian mereka menyangka bahwa maksud firman Allah Ta’ala :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ
[آل عمران : 7]
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. (Ali Imran: 7)
adalah: tidak ada yang mengetahui tafsir dari nama ini yang ternyata dia selain Dia.
Kaum muslimin bahkan para pemikir sepakat bahwa hal tersebut merupakan kebatilan yang nyata. Bisa jadi ada sebagian yang memiliki pemahaman yang sama. Saya katakan kepada sebagian yang mengatakan hal seperti itu bahwa seandainya itu yang anda katakan maka niscaya ayatnya berbunyi: وما يعلم تأويل هو dengan terpisah [16], maksudnya kata (هو) ditulis terpisah dari kata (تأويل) ..
Footnote :
9. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah).
10. Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali
11. Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul.
12. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’
13. Hadits yang dibuat-buat (hadits palsu)
14. Orang yang mengikuti salah satu syekh dalam sebuah tarekat sufi.
15. Kalimat tauhid jika diucapkan secara lengkap (لا إله إلا الله) mengandung arti yang sangat penting; yaitu adanya nafy (meniadakan segala bentuk ketuhanan selain Allah/لا إله) dan Itsbat (hanya mengakui Allah sebagai tuhan/إلا الله). Sedangkan jika diucapakan secara mutlak begitu saja dengan lafaz الله maka arti yang sangat penting tersebut akan hilang.
16. Risalah Al-Ubudiyah, hal 117-118, cet. Al-Ifta’
(Dikutip dari tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan, judul asli حقيقة التصوف وموقف الصوفية
Selengkapnya...
Senin, 28 Maret 2011
Membongkar Ajaran Tasawwuf (1)
Sabtu, 19 Maret 2011
Menasihati Pemimpin Sesuai Syari'at
Definisi Nasihat
Nasihat secara etimologi berasal dari kata nashoha yang berarti kholasa yaitu murni. Adapun nasihat menurut Abu Amr bin Salah adalah menghendaki suatu kebaikan untuk orang lain dengan cara ikhlas baik berupa tindakan atau kehendak
Pentingnya Nasihat
Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama yang sangat penting dan penyanggah kebenaran yang paling fundamental sehingga Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam menegaskan dalam haditsnya:
Dari Tamim Ad Dary bahwasannya Nabi Shpllallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:"Agama adalah Nasihat". kami bertanya: Untuk siapa? Beliau bersabda: "Untuk Allah, KitabNya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh Umat Islam". (H.R Muslim dan An-Nasa'i )
Nasihat kepada pemimpin
Nasihat terhadap pemimpin adalah permasalahan yang jarang mendapat penjelasan secara baik sesuai dengan asas hukum Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Sebagian orang terkadang kurang proporsional dan tidak terpuji dalam mengoreksi kekurangan sikap para pemimpin bahkan melanggar kaidah-kaidah dasar islam dalam menegakkan prinsip amar ma'ruf nahi munkar terhadap para pemimpin, di antara mereka menempuh cara demo, membuat makar politik sehingga tidak jarang menimbulkan kekacauan dan keresahan dan sebagian yang lainnya menempuh cara terorisme.
Menasihati pemimpin termasuk per-kara yang paling diridhai Allah sebagai-mana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya Allah rela terhadap tiga perkara dan benci terhadap tiga perkara; Dia rela apabila kalian menyembah-Nya, perpegang teguh terhadap tali Allah dan meNasihati para pemimpin. Dan Allah benci terha-dap pembicaraan sia-sia, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya".
Subtansi Nasihat kepada Pemimpin
Nasihat terhadap para pemimpin berarti membantu mereka dalam menegakkan kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan cara lembut dan sopan terhadap hak-hak rakyat dan tidak melakukan pemberontakan.
Imam Nawawi berkata bahwa mena-sihati para pemimpin berarti menolong mereka untuk menjalankan kebenaran, mentaati mereka dalam kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut terhadap kesalahan yang mereka berbuat, memperingatkan kelalaian mereka terhadap hak-hak kaum muslimin, tidak melakukan pemberontakan dan membantu untuk menciptakan stabilitas negara.
Imam Al Khattaby berkata bahwa termasuk nasihat terhadap pemimpin adalah shalat berjamaah di belakang mereka, jihad bersama mereka, membayar zakat kepada mereka, tidak keluar dari mentaati mereka tatkala terjadi penyelewengan dan kedzoliman, tidak memuji secara dusta dan selalu mendo'akan kebaikan untuk mereka.
Dan nasihat yang paling penting adalah mendatangi mereka dalam rangka untuk menyampaikan kekurangan dan kebutuhan umat serta menjelaskan kelemahan para pejabat khususnya hal-hal yang berdampak negatif bagi umat. Mengingatkan agar takut kepada Allah dan hari akherat, mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang tentang kemungkaran serta mendorong mereka agar hidup seder-hana dan wara'.
Macam-macam pemimpin
Para pemimpin kuam muslimin terbagi menjadi dua:
a. Pemimpin fajir atau jahat
Pemimpin yang fajir atau jahat yaitu pemimpin yang hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka, perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kedhaliman dan tidak segan-segan melibas siapa saja yang mencoba untuk menggoyang kekuasaannya meskipun dia melanggar syari'at. Tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap harta negara.
Faktor penyebab rusaknya para pemimpin
b. Pemimpin yang adil lagi bijaksana
Pemimpin yang adil lagi bijaksana artinya selalu mendahulukan kebenaran dan kepentingan umum, sungguh-sungguh dalam menerapkan syariat Islam dan sangat adil lagi bijaksana dalam memberikan hak-hak umat serta hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam membelanjakan harta negara.
Cara Menasihati Pemimpin
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati para pemimpin bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin secara umum perlu memakai kaedah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaedah dan etikanya.
Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayat-kan bahwa Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang sepi, jika menerima nasihat itu, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban Nasihat kepadanya". (H.R Imam Ahmad).
Sangat tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga menimbulkan banyak fitnah. Seharusnya menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat yang rahasia sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin 'Affan bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.
Imam Ibnu Hajar berkata bahwa Usamah telah menasihati 'Ustman bin 'Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.
Imam Syafi'i berkata bahwa barang-siapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah menasihati dan menghiasinya dan barang-siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka dia telah mempermalukan dan merusaknya.
Imam Al Fudhail bin 'Iyadh berkata: Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan lewat mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum bukan cara atau manhaj salaf, sebab demikian itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin, akan tetapi manhaj salaf dalam menasihati pemimpin adalah dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan Nasihat tersebut.
Bersabar terhadap pemimpin yang Dzholim
Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin yang dzholim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar. sebagaimana sabda Rosululloh Shollallaohu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar, sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal dalam keadaan jahiliyah". (HR. Al-Bukhari)
Abdullah Ibnu Abbas berkata: "Pemimpin adalah ujian bagi kalian, apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapat pahala dan kamu harus bersyukur dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar."
Imam Nawawi berkata: "Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin tidak berdosa kecuali dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran tersebut."
Bekal bagi orang yang mensehati pemimpin
1 . Ikhlas dalam memberi nasihat.
Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda kepada Abdullah bin Amr:" Wahai Abdullah bin Amr jika kamu berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membang-kitkan kamu, sebagai orang yang sabar dan ikhlas dan jika kamu berperang karena riya', maka Allah akan mem-bangkitkan kamu sebagai orang riya dan ingin dipuji". (HR. Abu Daud)
Imam Ibnu Nahhas berkata: Orang yang menasihati pemimpin atau kepala negara hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari pengaruh atau jabatan atau pujian maka dia telah berbuat kesalahan yang besar dan melakukan perbutan sia-sia.
2. Menjauhi segala macam ambisi pribadi.
Seorang yang menasihati pemimpin sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan keinginan pribadi untuk mendapat-kan sesuatu dari pemimpin atau penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberi contoh dan suri tauladan, seperti Sufyan Atsaury, beliau sering menolak pemberian para penguasa khawatir bila pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran.
3. Mendahulukan sikap kejujuran dan keberanian
Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa hendaknya bersikap jujur dan pemberani sebagai-mana sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam:" Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenar-an kepada pemimpin yang dhalim". (HR Abu Daud).
4. Berdoa kepada Allah dengan doa-doa ma'tsur
Dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: Jika kamu mendatangi penguasa yang kejam, maka berdo’alah:
Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi seru semua makhluq-Nya, Allah Maha Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung kepada Allah yang tiada Tuhan yang haq selain-Nya, Dialah yang menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izin-Nya dari kejahatan hamba-Mu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan para pendukungnya baik dari jin atau manusia. Ya Allah jadilah Engkau pedampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah dan Maha Agung serta Maha Berkah Nama-Nya tiada Tuhan selain Engkau – dibaca tiga kali- (H.R Ibnu Abu Syaibah)
Demikian sekilas penjelasan tentang kaedah dan etika dalam fikih Nasihat khususnya Nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin. (Zaenal Abidin).
Rujukan: Haqiqatul Amr bil Ma'ruf wa nahi 'anil Mungkar, Dr. Hamd bin Nasir Al Ammar. Fikih Nasihat, Fariq Qasim.
Selengkapnya...
Rabu, 16 Maret 2011
Jawaban atas pertanyaan: Mengapa masih mempermasalahkan bid’ah?
Bid’ah merupakan perbuatan yang menodai kesempurnaan ajaran islam. Sebuah kedustaan atas nama agama. Bahkan dapat meruntuhkan sendi-sendi sunnah Rosululloh. Bid’ah termasuk fitnah besar yang melanda kaum muslimin. Kesesatan ini disebabkan penganggapan bahwa amalan tersebut bersumber dari islam padahal sama sekali tidak ada, baik perintah, anjuran bahkan contohnya dari Rosululloh dan para shohabatnya yang mana mereka adalah tauladan dalam memahami dan mengamalkan islam.
2. Jangan menentang tradisi umum masyarakat dan tokoh serta pemuka agama
Ciri Ahlus Sunnah dan Pengertian Ahlus Sunnah, Perbedaan Dakwah Salaf dengan Yang lain,Syubhat Salafy dan Bantahannya
2. Ahlussunnah dalam memahami agama (al-Qur”an dan Hadist) hanya berdasarkan pemahaman para salafush shalih bukan atas pemahaman nafsu golongan atau pribadi. Semua dikembalikan kepada pemahaman mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim Al Jauziah (kamu tahu khan siapa beliau ? Ulama besar murid terkasih Ibnu Taimiyah !Umat bilang beliau seorang dokter hati) berkata, Sesungguhnya pengambilan dalil yang terbaik atas makna ayat-ayat Al Qur”an adalah dengan cara mengambil apa yang telah diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpercaya) dari Rasulullah kemudian mengikuti apa-apa yang telah dijelaskan oleh para sahabat, tabi”in dan Aimatul Huda (para imam).
3. Dakwah ahlussunnah adalah dakwah yang gampang dan mudah, ia dapat diterima siapa saja dan dimana saja, dengan mendasarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah dan dilaksanakan para sahabat. Coba lihat sabda baginda Rasulullah, Sesungguhnya dien (agama) ini mudah, tidaklah sesorang itu berlebihan dalam menjalankan agama melainkan pasti akan kesulitan sendiri. (HR. Bukhari). Dengan berdasar pada sabda baginda ini ahlussunnah hanya menjalankan apa yang diajarkan Rasuullah dengan tanpa menambah atau menguranginya (berlebihan). Ajaran inilah yang merupakan ajaran paling gampang dan mudah dilaksanakan serta sesuai dengan fitrah manusia. Semuanya bersih dari kesemrawutan, berlebihan atau menyepelekan. Ahlussunnah selalu berada di tengah-tengah yaitu tidak berlebihan dan tidak pula menyepelekan.
Selasa, 15 Maret 2011
Setting DNS Server Pada OpenSuse
Buka Menu Yast Control Center
Kemudian pilih
Network Services / DNS Server
Kemudian Pilih Tab Forwarders lalu pilih "Set Forwarders Manually"
PadaØ Kolom IP Address ketikkan alamat DNS Forwarders
Kemudian Klik Tombol Add
Contoh Seperti gambar dibawah ini:
Selengkapnya...
Senin, 14 Maret 2011
Mengurai Kesesatan "Ihya' 'Ulumuddin"
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupa-kan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rosululloh Shallallohu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
Selengkapnya...
Sabtu, 12 Maret 2011
Bila Cinta Menyapa
‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridhaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridhaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zhalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat adzab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah : 165)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka/sesembahan tandingan itu sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7. islamspirit.com).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Allah ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah yaitu [sesembahan-sesembahan] tandingan. Mereka menyembahnya disamping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, tidak ada yang sanggup menentang-Nya, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya. Di dalam Ash-Shahihain [Sahih Bukhari dan Muslim] dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-, dia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar.” Beliau menjawab : “Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya padahal Dialah yang menciptakanmu.” Sedangkan firman Allah, “adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, I/262)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana mencintai Allah ta’ala maka dia termasuk kategori orang yang telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Syirik ini terjadi dalam hal kecintaan bukan dalam hal penciptaan dan rububiyah… Karena sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).
Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah menjelaskan, “Orang-orang musyrik itu menyetarakan sesembahan mereka dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan. Inilah pemaknaan ayat tersebut sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah…” (Ibthaalu Tandiid, hal. 180).
Syaikhul Islam mengatakan : “Penyetaraan semacam itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala tatkala menceritakan penyesalan mereka di akhirat ketika berada di neraka. Mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu mereka dalam keadaan mereka sama-sama mendapatkan adzab (yang artinya) : “Demi Allah, dahulu kami di dunia berada dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa’ : 97-98). Telah dimaklumi bersama, bahwasanya mereka bukan mensejajarkan sesembahan mereka dengan Rabbul ‘alamin dalam hal penciptaan dan rububiyah. Namun mereka hanya mensejejajarkan pujaan-pujaan itu dengan Allah dalam hal cinta dan pengagungan…” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320-321)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Kecintaan orang-orang yang beriman lebih dalam dikarenakan kecintaan tersebut adalah kecintaan yang murni yang tidak terdapat noda syirik di dalamnya. Sehingga kecintaan orang-orang yang beriman menjadi lebih dalam daripada kecintaan mereka (orang-orang kafir) kepada Allah.” (Al-Qaul Al-Mufid, II/4-5).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna ‘orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah’ yaitu apabila dibandingkan dengan kecintaan para pengangkat tandingan itu terhadap sekutu-sekutu mereka. Karena orang-orang yang beriman itu memurnikan cinta untuk Allah, sedangkan mereka mempersekutukan-Nya. Selain itu, mereka juga mencintai sesuatu yang memang layak untuk dicintai, dan kecintaan kepada-Nya merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan kemenangan hamba. Adapun orang-orang musyrik itu telah mencintai sesuatu yang pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk dicintai. Dan mencintai tandingan-tandingan itu justru menjadi sumber kebinasaan dan kehancuran hamba serta tercerai-cerainya urusannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 80).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)…” Beliau menegaskan : “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu koneskuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada rasul –bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua dan anak-anak- merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)
Buktikan Cintamu!
Dari Anas radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia menjadikan aku lebih dicintainya daripada anak, orang tua dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata : “Maka keimanan tidak menjadi sempurna sampai Rasul lebih dicintainya daripada seluruh makhluk. Kalau demikian halnya yang seharusnya diterapkan dalam kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada Allah ta’ala?!!…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/6).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku.” (QS. Ali-’Imraan : 31). Syaikhul Islam berkata : “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al-’Ubudiyah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “Pokok dari seluruh amal perbuatan adalah rasa suka (cinta). Karena seorang manusia tidaklah melakukan sesuatu kecuali apa yang disukainya, baik dalam rangka mendapatkan manfaat atau untuk menolak madharat. Maka apabila dia melakukan sesuatu tentulah karena dia menyukainya, mungkin karena dzat sesuatu itu sendiri (sebab internal) seperti halnya makanan atau karena sebab eksternal seperti halnya meminum obat. Ibadah kepada Allah itu dibangun di atas pondasi kecintaan. Bahkan rasa cinta itulah hakikat dari ibadah. Sebab apabila anda beribadah tanpa memiliki rasa cinta maka ibadah yang anda perbuat akan terasa hambar dan tidak ada ruhnya. Karena sesungguhnya apabila di dalam hati seorang insan masih terdapat rasa cinta kepada Allah dan keinginan untuk menikmati surga-Nya maka tentunya dia akan menempuh jalan untuk menggapainya…” (Al-Qaul Al-Mufid, II/3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang pada dirinya terdapat ketiganya niscaya akan merasakan manisnya iman; [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, [2] dia mencintai orang lain tidak lain disebabkan cinta karena Allah, [3] dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana dia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari [15,20,5581,6428] dan Muslim [60,61] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [92] dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu disahihkan Al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilakukannya” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 332).
Maka perhatikanlah wahai saudaraku kecenderungan dan gerak-gerik hatimu, jangan-jangan selama ini engkau telah menobatkan sesembahan selain Allah jauh di dalam lubuk hatimu; entah itu harta, kedudukan, jabatan, benda, atau sesosok manusia. Engkau mengharapkannya, menggantungkan cita-citamu kepadanya, takut kehilangan dirinya sebagaimana rasa takutmu kehilangan bantuan dari Allah ta’ala, sehingga keridhaannya pun menjadi tujuan segala perbuatan dan tingkah lakumu. Halal dan haram tidak lagi kau pedulikan, aturan Allah pun kau lupakan. Aduhai, betapa malang orang-orang yang telah menjadikan makhluk yang lemah dan tak berdaya sebagai tumpuan harapan hidupnya. Sungguh benar Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas penduduk bumi ini telah mengangkat selain Allah sebagai sekutu dalam perkara cinta dan pengagungan.” (dinukil dari Fathul Majid, hal. 320).
Semoga Allah menyelamatkan hati kita dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya, dan semoga Allah meneguhkan hati kita untuk menjunjung tinggi kecintaan kepada-Nya di atas segala-galanya. Sebab tidak ada lagi yang lebih melegakan hati dan perasaan kita selain tatkala Allah ta’ala telah menetapkan cinta-Nya untuk kita, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi-Nya, segala puji bagi Allah Rabb penguasa seluruh alam semesta.
Sumber: muslim.or.id
Selengkapnya...